Satu hal yang aku tahu dari sekolah, dia mengajariku arti
hidup sebenarnya, tidak ada yang lebih indah dibandingkan seorang guru dengan
kegigihan nya mengajari ilmu-ilmu yang bermanfaat, seorang teman yang selalu
memberikan senyuman tulus tanpa balas jasa, sebuah nasehat yang menyejukan
hati, sebuah teguran yang membuat diri selalu ingin menjadi lebih baik, sebuah
hinaan yang membuat aku rendah hati, sebuah masalah
yang membuatku lebih dewasa.
Aku, Sekolah dan Segalanya.
Pagi itu sangat indah, ditambah lagi keceriaan dan
semangat yang kian memancar dari dari orang-orang terbaik yang tak pernah bisa
aku lupakan, merekalah yang mengajariku untuk selalu bersyukur, karena mereka
tak pernah membiarkan aku sendiri dan merasa sedih. Merekalah yang mengajariku
bahagia, karena dalam kesedihan pun, tak pernah sembunyikan senyum hangat yang
menenangkan itu. Dan mereka yang mengajariku, akan pentingnya kebersamaan,
karena kita telah berjanji, suatu saat nanti kita akan berpisah dan suatu saat
nanti pula kita akan bertemu lagi.
Terdengar langkah kaki ringan melangkah perlahan menuju
depan bangku-bangku murid yang selalu semangat belajar. Dengan cekatan
murid-murid langsung merapihkan tempat duduknya. Terlihat dihadapanku hari ini,
seorang Guru Matematika yang gagah, sebagian murid sangat menyenangi beliau.
Disamping ketampanannya juga kegigihan dalam mengajarnya. Sampai-sampai papan
board pun tak pernah terlihat kosong, penuh dengan rumus, turunan dan soal-soal
latihan yang beliau buat sendiri. Tak pernah ada buku pegangan tetap, atau buku
pembelajaran matematika lain yang bisa mengalahkan rumus-rumus yang beliau buat
diatas papan putih berkilau itu. Namun, karena ketidakminatan aku terhadap
Matematika, tak penah aku bertanya atau bahkan memberikan perhatian penuh.
Sampai salah seorang teman berkata. “fa, ke kantin yuk?! Bosen ni, ngantuk aku”
katanya, tangannya menggapai pundakku untuk sebuah ajakan. Tentunya aku tak
pernah menolak ajakan seperti itu, dan serupa dengan itu.
Nanda : “Kamu yang izin fa!” tampang penuh harapan, yang
membuat aku tak malu untuk berbicara
Aku : “ hemm.. Pa! Permisi, mau izin kebelakang
sebentar?!, boleh??” walau tangan gemetar, tak urungkan niat ku untuk pergi
meninggalkan kelas
Pa. Guru :”oh, iya silahkan” Pa Guru meng-iyakan, bahkan
tak pernah ada satu muridpun yang beliau larang untuk meninggalkan kelas.
Seperti itu lah, kebiasaan burukku ketika menghadapi
masalah semacam ini, selalu menghindar, pergi, tak peduli. Bahkan tak peduli
dengan nilai Matematika yang tidak lebih dari angka 5, 4 dan seterusnya.
Dalam setiap pertemuan tak diduga, diluar jam belajar,
Guru itu selalu menanyakan kabar ku. “Assalamu’alaikum Pa.” Sedikit senyum
hangat dan cium tangan tanda hormat tak pernah aku tinggalkan.
“Wa’alaikumussalam, Haifa, gimana kabarnya?!!” balas
senyum membawa ketenangan
“Alhamdulillah sehat Pa. Kalau Bapak gimana?” aku
bertanya balik
“Alhamdulillah, Haifa, gimana belajarnya?! Gimana nilai
Bahasa Arabnya? Baik?!, harus semangat kalu belajar itu. Ya?!” tersenyum dan
memberikan harapan besar, walau bagaimanapun aku harus mampu, dan terus
semangat
Bahkan yang beliau tanyakan, bukanlah pelajaran
Matematikanya, tapi pelajaran yang aku minati dan aku sukai, jarang aku temukan
guru yang seperti ini. Beliau tak mempedulikan kesuksesan dirinya dalam mengajar,
tapi kesuksesan anak didik nya di sekolah dalam bidang apapun, dan sampai akhir
kelulusan pun, itu lah yang beliau selalu tanyakan. Padahal diantara anak
didiknya, aku orang yang sering tidur dalam ulangan maupun membelajaran biasa,
selalu hilang ditengah-tengah pembelajaran.
Sampai diakhir pertemuan
“Haifa, diteruskan kemana?” katanya, dengan suara yang
khas
“Alhamdulillah Pa. Udah keterima di PTN Jurusan
Pendidikan Bahasa Arab” kataku sambil tersenyum haru
“Syukur kalo gitu, semoga jadi anak yang baik, dan selalu
berusaha dijalanNya. Aamiin”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar