Oleh.
Prof. DR. H. Sofyan Sauri, M.Pd
A.
Pendahuluan
Kebobrokan moral yang meluas di kalangan birokrasi pemerintah dan
masyarakat, membutuhkan penanganan cepat. Jika tidak, kebangkrutan negara ini
tinggal menunggu waktu. Penanganan yang cepat yang bisa dilakukan adalah dengan
menegakan hukum yang adil bagi semua lapisan masyarakat serta memberikan keteladanan
dari elit politik dan tokoh masyarakat tentang pentingnya moral bangsa. Langkah
ini harus disertai dengan kegiatan terus menerus berupa pendidikan tentang
karakter dan moral baik (Kompas, 21 Juni
2011)
Fenomena terdekradasinya moral elit dan generasi bangsa (termasuk
mahasiswa) acapkali menjadi apologi bagi sebagian orang untuk memberikan kritik
pedasnya terhadap institusi pendidikan yang menjadi mesin pencetak sumber daya
insani pembangunan bangsa. Hal tersebut tidak dapat disalahkan karena pendidikan sesungguhnya
memiliki misi yang amat mendasar yakni membentuk manusia utuh dengan akhlak
mulia sebagai salah satu indikator utama, generasi bangsa dengan karatekter
akhlak mulia merupakan salah satu profil yang diharapkan dari praktek
pendidikan nasional. Hal tersebut tersurat dalam bunyi UU No. 20 tahun 2003 bab II pasal 3 tentang
fungsi dan tujuan pendidikan nasional bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Tersuratnya kata
berakhlak mulia dalam rumusan tujuan pendidikan nasional di atas mengisyaratkan
bahwa bangsa Indonesia mencita-citakan agar akhlak mulia menjadi bagian dari
karakter nasional. Hal tersebut diharapkan dapat terwujud melalui proses
pendidikan nasional yang dilakukan secar berjenjang dan berkelanjutan.
Dalam praktek pendidikan nasional
dewasa ini, terdapat distorsi antara cita-cita pendidikan nasional dengan
realitas sosial yang terjadi. Berbagai fenomena nasional menunjukkan
gejala-gejala yang mengkhawatirkan
terkait dengan karakter generasi dan elit bangsa. Hal yang lebih mengkhawatir
lagi adalah bahwa anomali karakter bangsa tersebut tidak sedikit yang terjadi
di dalam lingkungan pendidan itu sendiri, bahkan dilakukan oleh oknum pelaku
pendidikan. Fenomena yang mengkhawatirkan tersebut diantaranya dapat kita simak
dari berita yang dipublikasikan berbagai media seringkali membuat kita miris
mendengarnya, perkelahian (sisiwa-siswa, siswa guru, anak orang tua, siswa kepala
sekolah), pergaulan bebas, siswa dan mahasiswa terlibat kasus narkoba, remaja
usia sekolah yang melakukan perbuatan amoral, kebut-kebutan di jalanan yang
dilakukan remaja usia sekolah, menjamurnya geng motor yang beranggotakan remaja
usia sekolah, siswa bermain di pusat perbelanjaan pada saat jam pelajaran,
hingga siswa Sekolah Dasar (SD) yang merayakan kelulusan dengan pesta minuman
keras dan tega menusuk temannya sendiri hingga
meninggal dunia.
Indikator lain yang menunjukkan
adanya gejala rusaknya karakter generasi bangsa bisa dilihat dari praktek sopan
santun siswa yang kini sudah mulai memudar, diantaranya dapat dilihat dari cara
berbicara sesama mereka, prilakunya terhadap guru dan orangtua, baik di sekolah
maupun di lingkungan masyarakat, kata-kata kotor yang tidak sepantasnya
diucapkan oleh anak seusianya seringkali terlontar. Sikap ramah terhadap guru
ketika bertemu dan penuh hormat terhadap orangtua pun tampaknya sudah menjadi
sesuatu yang sulit ditemukan di kalangan anak usia sekolah dewasa ini. Anak-anak usia sekolah seringkali menggunakan
bahasa yang jauh dari tatanan nilai budaya masyarakat. Bahasa yang kerap
digunakan tidak lagi menjadi ciri dari sebuah bangsa yang menjunjung tinggi
etika dan kelemahlembutan.
Hal yang membuat kita miris mendengarnya
bahwa penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan oleh mereka yang
sehari-harinya menikmati “racikan kurikulum” pendidikan nasional. Banyak faktor
tentunya yang menyebabkan fenomena tersebut terjadi. Jika ditinjau dari
komponen penyelenggaraan pendidikan, maka terdapat beberapa faktor yang
berpengaruh, di antaranya faktor pendidik/guru, kurikulum (materi.metode,media,
sumber,evaluasi), sarana dan prasarana serta faktor kepemimpinan pada satuan
pendidikan.
Merancang ulang kurikulum pendidikan
nasional -khususnya kurikulum Perguruan Tinggi yang melahirkan calon-calon
pendidik generasi bangsa- yang lebih memperhatikan aspek afeksi, bukan sekedar
kognisi, merupakan solusi strategis yang wajib diperhatikan oleh segenap insan
pelaku pendidikan. Pendidikan berbasis afeksi atau dengan kata lain pendidikan
berbasis karakter menjadi kensicayaan untuk dilakukan secara terprogram, terstruktur,
sistemtik dan dilakukan kolektif secara
nasional diseluruh jalur dan jenjang pendidikan nasional. Doni Khoesoema (2007) berpendapat bahwa
pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti
mengukuhkan moral intelektual peserta didik sehingga menjadi personal yang
kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun
sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit
sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi sebuah proses
perbaikan dalam masyarakat. Situasi sosial yang ada menjadi alasan utama agar
pendidikan karakter segera dilaksanakan dalam lembaga pendidikan.
Brook and Goble (1997) menyatakan
bahwa pendidikan berbasis karakter yang secara sistematis diterapkan dalam
pendidikan dasar dan menengah merupakan sebuah daya tawar berharga bagi seluruh
komunitas. Para peserta didik mendapatkan keuntungan dengan memperoleh perilaku
dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya dalam diri mereka,
membuat hidup mereka lebih bahagia, dan lebih produktif. Tugas-tugas guru
menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para peserta didik
memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas. Orangtua bergembira ketika
anak-anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan
produktif. Para pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam
hal disiplin, kehadiran, beasiswa,
pengenalan nilai-nilai moral bagi peserta didik maupun guru, demikian juga berkurangnya tindakan
vandalisme di dalam sekolah.
Memasuki abad ke-21 banyak pendidik
ingin menekankan kembali hadirnya kembali pendidikan karakter, untuk
mempromosikan nilai-nilai positif bagi anak-anak muda dalam kaitannya dengan
merebaknya prilaku kekerasan dalam masyarakat. Brooks dan Goble mengindikasikan
bahwa, “...kejahatan dan bentuk-bentuk lain prilaku tidak bertanggung jawab
telah meningkat dengan kecepatan yang sangat menghawatirkan dan telah merembes
menembus berbagai macam aspek kehidupan sehari-hari dan telah menjadi proses
reproduksi sosial. Masyarakat kita sedang berada dalam ancaman tindakan
kekerasan, vandalisme, kejahatan di jalan, adanya geng-geng jalanan, anak-anak
kabur dari sekolah/bolos (truancy), kehamilan dikalangan anak-anak muda,
bisnis hitam (business fraud), korupsi pada politisi, kehancuran dalam
kehidupan rumah tangga, hilangnya rasa hormat pada orang lain, dan memupusnya
etika profesi.”
Dalam konteks makalah ini, penulis
ingin menyoroti masalah pendidikan karakter dalam konteks rancangan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) yang dapat dikembangkan di lingkungan satuan pendidikan. Dalam arti
bahwa akar masalah sekaligus solusi atas masalah rusaknya karakter bangsa
dimulai dari memperbaiki praktek pendidikan di lingkungan satuan pendidikan.
Hal tersebut akan menjadi solusi jangka panjang sekaligus langkah nyata dan
sistemik bagi terwujudnya cita-cita pendidikan
nasional yang menginginkan lahirnya generasi bangsa yang berkarakter dan
tidak kehilangan jati dirinya sebagai bangsa timur yang menjungjung tinggi
sistem nilai transendental.
B.
Fisolofi dan
Landasan KTSP Berbasis Pendidikan Karakter
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan
potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu, kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang
ada guna menunjang pengembangkan
potensi peserta didik menuju terbentuknya peserta didik yang cerdas otaknya, lembut hatinya, dan terampil tangannya dalam hal-hal yang
positif (Sauri, 2011:7). Kurikulum juga harus disusun dengan memperhatiukan
aspek gejala sosial yang berkembang (kontekstual), sehingga rancangan kurikulum
memberikan dampak bagi penyelesaian masalah-masalah yang berkembang di
masyarakat seperti masalah ruksaknya karakter bangsa sebagaimana diuraikan pada
bagian pendahuluan.
Pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai model pegembangan kurikulum yang kini diberlakukan, memberikan
ruang inovasi yang lebih kepada pengelola satuan pendidikan untuk merancang
kurikulumnya sendiri sehingga lebih sesuai dengan karakteristik sumber daya dan
kebutuhan lingkungan tempat satuan pendidikan tersebut eksis dan berkembang. KTSP
mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar
nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan sebagaimana
ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Republik Indonesia No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP). Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu
Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama
bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum yang akan diberlakukan di tingkat satuan
pendidikan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No19 Tahun 2005 tentang SNP
mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan
mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain
dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut
kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005. Kurikulum menurut ketentuan perundangan tersebut disusun antara lain agar dapat
memberi kesempatan peserta didik:
- belajar untuk beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
- belajar untuk memahami
dan menghayati,
- belajar untuk mampu
melaksanakan dan berbuat secara efektif,
- belajar untuk hidup
bersama dan berguna untuk orang lain,
- belajar untuk membangun
dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan.
- Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif
peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa
- Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta
didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi
budaya bangsa yang religius
- Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab
peserta didik sebagai generasi penerus bangsa
- mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi
manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan, dan.
- mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah
sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan
(dignity).
- Pengembangan kegiatan
ekonomi berdasarkan pada kreatifitas, keterampilan dan bakat individu
untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai
ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Kurikulum berbasis
pendidikan karakter pada hakikatnya merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan yang relevan
dengan hakikat pendidikan karakter. Adapun pendidikan karakter pada
hakikatnya dapat dimaknai sebagai proses
penanaman nilai-nilai esensial pada diri anak melalui serangkaian kegiatan
pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa mampu memahami, mengalami,
dan mengintegrasikan nilai-nilai yang menjadi core values dalam pendidikan yang dijalaninya kedalam sistem kepribadiannya.
Dengan
menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses
pembentukan individu, para insan pendidik diharapkan semakin dapat menyadari
pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, kepribadian,
pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan
bagi anak didik dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses
pertumbuhan berupa kenyamanan, keamanan yang membantu suasana pengembangan diri
satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis, intelektual, psikologis,
moral, sosial, estetis, dan religius).
Terkait dengan hakikat
pendidikan karakter, Doni Koesoema (2007:13)
mengungkapkan bahwa “Untuk kepentingan pertumbuhan individu secara integral,
pendidikan karakter semestinya memiliki tujuan jangka panjang yang mendasarkan
diri pada tanggapan aktif kontekstual individu atas impuls natural sosial yang
diterimanya yang pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan
diraih lewat proses pembentukan diri terus-menerus (on going formation).
Tujuan jangka panjang ini tidak sekadar berupa idealisme yang penentuan sarana
untuk mencapai tujuan itu tidak diverifikasi, melainkan sebuah pendekatan
dialektis yang semakin mendekatkan antara yang ideal dengan kenyataan, melalui
proses infleksi dan interaksi terus menerus, antara lain idealisme, pilihan
sarana, dan hasil langsung yang dapat dievaluasi secara objektif”.
Pendidikan karakter termasuk dalam
sebuah pedagogi yang memberikan penekanan pada nilai-nilai idealisme. Ia
termasuk dalam pedagogi idealis. Dalam perjalanan waktu, pedagogi yang sifatnya
idealis ini pun memberikan penekanan yang berbeda, terutama berkaitan dengan
unsur nilai-nilai yang menjadi agen pengubahan sejarah. Pendidikan karakter
sebagai sebuah pandangan pedagogi memberikan tiga matra penting setiap tindakan
edukatif maupun campur tangan internasional bagi sebuah kemajuan pendidikan.
Mata ini adalah individu, sosial, dan moral (Doni Koesoema (2007:143) . Oleh
karena itu, pembaruan dalam dunia pendidikan, serta penerapan program karakter
dalam setiap lembaga pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari tiga matra ini,
jika pembaruan ini ingin disebut sebagai sebuah pembaruan yang integral.
Pendidikan berbasis karakter apa
pun yang diterapkan di dalam sekolah tidak dapat melepaskan diri dari
konteksnya yang lebih luas, terlebih struktur-struktur yang mempengaruhi bagaimana
seorang individu yang terlibat dalam dunia pendidikan berperan sebagai subjek
moral yang aktif. Jika dimensi moral itu dilepaskan dari konteks kelembagaaan
tempat seorang individu menghayati kebebesan dan tanggung jawabnya, usaha
menerapkan pendidikan karakter dalam konteks sekolah menjadi inkonsistem dan
parsial, sebab berlaku hanya bagi murid, tapi bukan bagi individu lain yang
terlibat dalam dunia pendidikan. Sekolah yang ingin mengembangkan pendidikan
karakter dan nilai bagi anak didiknya, mesti menjawab pertanyaan dasar ini.
Apakah lembaga pendidikan tempat aku bekerja memiliki visi tertentu berkaitan
dengan pembentukan karakter anak didik? Jika sudah ada, apakah situasi sekolah
saat ini mendukung, melainkan atau bahkan praksis yang sedang terjadi di
sekolah malah bertentangan dengan visi lembaga pendidikan tersebut?
Visi pendidikan karakter yang
diterapkan oleh sekolah merupakan cita-cita yang akan diarahkan melalui kinerja
lembaga pendidikan. Tanpa visi yang diungkapkan melalui pernyataan yang jelas
dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat di dalam lembaga pendidikan
tersebut, setiap usaha pengembangan pendidikan karakter akan menjadi sia-sia.
Oleh karena itu, setiap sekolah semestinya menemukan visi pendidikan yang akan
menjadi dasar ajuan bagi setiap kerja, pembuatan program dan pendekatan
pendidikan karakter yang dilakukan di dalam sekolah.
Jika visi di dalam lembaga
pendidikan itu telah ada, langkah kedua yang perlu dipertanyakan adalah, apakah
dengan visi tersebut, lembaga pendidikan itu memiliki misi, yaitu semacam
penjabaran yang lebih praktis oprasional, yang indikasinya dapat diverifikasi,
diukur, dan dievaluasi secara terus-menerus. Misi adalah sebuah usaha
menjembatani praktis harian di lapangan dengan cita-cita ideal yang menjiwai
seluruh gerak lembaga pendidikan. Bisa dikatakan, tercapainya misi merupakan
tanda keberhasilan dilaksanakannya visi secara konsisten dan setia.
Menurut
pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966), terdapat empat ciri dasar dalam
pendidikan yang berbasis karakter. Pertama,
keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai.
Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh
pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko.
Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak
adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari
luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian
atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan dan kesetiaan.
Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang
baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang
dipilih. Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia
melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering
mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan
aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang
menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Dalam mengembangkan kurikulum
berbasis pendidikan karakter, terdapat berbagai
prinsip yang bisa dijadikan pedoman sebagaimana dikemukakan oleh Doni Keosoema (2007:218) sebagai berikut:
1. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu
lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau yakini.
Perinsip ini ingin
memberikan verifikasi kongkrit tentang karakter seseorang individu dengan
memberikan prioritas pada unsur pisiko-motorik yang menggerakan seseorang untuk
bertindak.
2. Setiap keputusan yang kamu ambil akan
menjadi orang macam apa dirimu.
Individu mengungkapkan
karakter pribadinya melalui setiap keputusan yang diambilnya. Hanya dari
keputusannya inilah seorang individu mendefinisikan karakternya sendiri. Oleh
karena itu, karakter seseorang itu bersifat dinamis.
3. Karakter yang baik mengandalkan bahwa
hal yang baik itu dilakukan dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun
kamu harus membayar secara mahal, sebab mengandung resiko.
Pribadi yang berproses
membentuk dirinya menjadi manusia yang baik, juga akam memilih cara-cara yang
baik bagi pembentukan dirinya. Maxim moral impratif kategoris Kant di sini
tetap berlaku. Setiap manusia mesti menganggap bahwa manusia itu bernilai di dalam
dirinya sendiri, karena itu tidak boleh diperalat dan dipengaruhi sebagai
sarana bagi tujuan-tujuan tertentu. Inilah yang membuat pendidikan karakter
mempunyai dimensi moral.
4. Jangan pernah mengambil risiko buruk
yang dilakukan orang lain sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat melihat
patokan lebih baik dari mereka.
Tekanan sosial dan
kelompok sebaya menjadi arena yang ramai bagi pergulatan pendidikan karakter di
sekolah. Kultur non-edukatif yang berlangsung terus dalam lembaa sebuah
pendidikan jika segera tidak diatasi akan menjadi standar prilaku para siswa.
Demikian juga tekanan kelompok sebaya sangat mempengaruhi siswa dalam
mengembangkan pendidikan karakter yang berguna bagi dirinya sendiri.
5. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna
dan transformatif. Seorang individu bisa mengubah dunia.
Para siswa perlu
disadarkan bahwa setiap tindakan yang berkarakter, setiap tindakan yang
bernilai, dan setiap prilaku yang bermoral yang mereka lakukan memiliki makna
yang bersifat transformatif.
6. Bayaran mereka yang memiliki karakter
baik adalah bahwa kamu menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat
dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk dihuni.
Setiap tindakan dan
keputusan memiliki karakter membentuk
seorang individu menjadi pribadi yang lebih bak.
Pendidikan
karakter atau akhlak (Sauri, 2012) di sekolah hendaknya dimulai dari usia TK,
atau setidaknya ketika anak menginjak usia SD. Hasil studi yang dilakukan
Lawrence J. Scheinhart (1994) menunjukkan bahwa pengalaman anak-anak masa TK
dapat memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan anak selanjutnya. Tujuan
akhir dari pendidikan moral atau budi pekerti adalah manusia dapat berperilaku
sesuai dengan kaidah-kaidah moral, pendidikan budi pekerti yang tidak dapat
mempengaruhi perilaku anak didik adalah tidak berguna. Seperti yang diungkap
Marvin Berkowitz (1988) banyak pendidikan moral yang dilakukan di
sekolah-sekolah tanpa memperhatikan pendidikan tersebut dapat membentuk perilaku
manusia.
Oleh
karena itu banyak yang menganggap bahwa
pendidikan moral atau budi pekerti (moral education/values education/virtues
education) lebih baik diganti dengan
Pendidikan karakter. Memberikan pendidikan moral hanya mencakup aspek bagaimana
mengetahui nilai-nilai moral, atau hanya mencakup aspek kognitif (cognition),
tetapi belum sampai kepada aspek tingkah laku. Menurut Wynne (1991), istilah
karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti "to mark" (menandai
atau mengukir), yang lebih terfokus pada melihat tindakan atau tingkah laku.
Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, maka orang
tersebut memanifestasikan karakter jelek. Sebaliknya apabila seseorang
berperilaku jujur, suka menolong, maka orang tersebut memanifestasikan akhlak
mulia, kedua istilah karakter erat kaitannya dengan "personality".
Seseorang bisa disebut 'orang yang berkarakter" kalau tingkah lakunya
sesuai dengan kaidah moral.
Pendidikan
berbasis karakter merupakan sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan memperaktekannya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya. Dalam masyarakat yang
heterogen seperti di Indonesia, nilai-nilai karakter yang ditanamkan harus
dapat menjadi common denominator dasar kesamaan nilai yang akan menjadi
perekat pada elemen-elemen masyarakat yang berbeda, sehingga masyarakat dapat
hidup berdampingan secara damai dan tertib, yang akhirnya menciptakan suasana
sinergi yang sangat produktif bagi kemajuan bangsa. Menurut Thomas Lickona karakter terdiri dari
tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang pengehtahuan moral (moral
knowing), perasaan (moral feeling), dan melakukan kebaikan (acting
the good).
Prinsip
pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter mengusahakan
agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya
melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan
selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip ini, peserta didik belajar melalui proses berpikir,
bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini
dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan
kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai
makhluk sosial. Merujuk kepada pedoman
yang dikembangkan oleh BSNP bahwa prinsip-prinsip
yang dapat digunakan
dalam pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter adalah
sebagai berikut:
1.
Berkelanjutan; mengandung
makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta didik
masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut
dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling tidak sampai
kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan budaya dan karakter bangsa di SMA
adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun.
2.
Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah; mensyaratkan bahwa proses pengembangan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa dilakukan melalui setiap mata pelajaran, dan dalam
setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler.
3. Nilai tidak
diajarkan tapi dikembangkan; mengandung makna bahwa
materi nilai budaya dan karakter bangsa
bukanlah bahan ajar biasa; artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok
bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori,
prosedur, ataupun fakta seperti dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia,
PKn, IPA, IPS, matematika, pendidikan jasmani
dan kesehatan, seni, dan ketrampilan.
4. Proses pendidikan
dilakukan peserta didik secara aktif dan menyenangkan;
prinsip ini menyatakan bahwa proses pendidikan nilai budaya dan karakter bangsa
dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap
perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini
juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang
menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
Lickona dalam Megawangi (2004) menegaskan bahwa terdapat 11 faktor yang
menentukan kesuksesan rancangan kurikulum pendidikan berbasis karakter sebagai
berikut:
1.
Pendidikan karakter harus mengandung nilai-nilai
yang dapat membentuk good character.
2.
Karakter harus didefinisikan secara menyeluruh yang
termasuk aspek thinking, feeling, and
action.
3.
Pendidikan karakter yang efektif memerlukan
pendekatan yang komprehensif dan terfokus dari aspek guru sebagai role model, disiplin sekolah, kurikulum
dan sebagainya.
4.
Sekolah harus jadi model masyarakat yang damai dan
harmonis.
5.
Para murid memerlukan kesempatan untuk
mempraktekannya.
6.
Harus mengikut sertakan kurikulum yang berarti bagi kehidupan anak.
7.
Harus membangkitkan motivasi internal dari diri
anak.
8.
Seluruh staf sekolah harus terlibat dalam pendidikan
karakter
9.
Memerlukan kepemimpinan moral dari berbagai pihak
10. Sekolah harus
bekerjasama dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya.
11. Harus ada evaluasi
berkala mengenai keberhasilan pendidikan karakter di sekolah.
Lebih lanjut Lickona
dalam Megawangi (2004) mengemukakan bahwa proses pendidikan karakter menekankan
kepada tiga komponen karakter yang baik (components
of good character) yakni moral
knowing, moral feeling dan moral
action. Dalam konteks proses pendidikan karakter di sekolah, tahapan moral knowing disampaikan dalam dimensi kelas
dan dimensi komunitas oleh guru. Adapun
moral feeling dikembangkan melalui
pengalaman langsung para siswa dalam konteks sosial dan personalnya. Aspek
emosi yang ditekankan untuk dirasakan para siswa meliputi sembilan pilar
pendidikan karakter, khususnya pilar rasa cinta Allah dan segenap ciptaanya.
Sedangkan moral action meliputi
setiap upaya sekolah dalam rangka menjadikan pilar pendidikan karakter rasa cinta Allah dan segenap ciptaanya
diwujudkan menjadi tindakan nyata. Hal tersebut diwujudkan melalui serangkaian
program pembiasaan melakukan perbuatan yang bernilai baik menurut parameter Allah
swt di lingkungan sekolah. Dalam
mewujudkan moral action, sekolah
memperhatikan tiga aspek lainnya terkait dengan upaya perwujudan materi
pendidikan menjadi karakter pada diri siswa, ketiga aspek tersebut meliputi
kompetensi, keinginan dan kebiasaan. Pembentukan ketiga aspek tersebut diupayakan
oleh guru secara terpadu dan konsisten yang pada akhirnya diharapkan melahirkan
moral action yang secara spontan
dilakukan anak, baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan
masyarakat.
Dalam mengembangkan rancangan
kurikulum yang berbasis kepada pendidikan katrakter, perlu diperhatikan dua
landasan pokok, yakni landasan empiris dan landasan formal. Yang menjadi
landasan empirik di antaranya adalah, Pertama,
adanya kenyataan rendahnya kualitas pendidikan kita baik dilihat dari sudut
proses maupun hasil belajar. Dari sudut proses misalnya pendidikan kita kurang
mampu mengembangkan peserta didik secara utuh/kaffah/komprehenshif. Proses
pendidikan cenderung berorientasi hanya pada pengembangan kognitif atau
pengembangan intelektual; sedangkan pengembangan sikap/karakter dan psikomotor
cenderung terabaikan.
Melalui KTSP yang kini diberlakukan
sebagai kurikulum yang berorientasi pada pencapaian kompetensi mendorong proses
pendidikan tidak hanya terfokus pada pengembangan intelektual saja, akan tetapi
juga pembentukan sikap dan keterampilan secara seimbang yang dapat
direfleksikan dalam kehidupan nyata. Kedua,
Indonesia adalah Negara yang sangat luas yang memiliki keragaman sosial budaya
dan potensi dan kebutuhan yang berbeda. Selama ini kurikulum yang bersifat
sentralistis cenderung mengabaikan potensi dan kebutuhan daerah yang berbeda
itu. Akibatnya, lulusan pendidikan tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhan
dearah di mana siswa tinggal. KTSP sebagai kurikulum yang cenderung bersifat
desentralistik memiliki prinsip berorientasi pada kebutuhan dan potensi daerah.
Artinya, keanekaragaman daerah baik dilihat dari sosial, budaya, dan kebutuhan
harus dihadirkan pertimbangan alam proses penyusunan dan pengembangan
kurikulum. Ketiga, selama ini peran
sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum bersifat pasif. Sekolah
hanya berfungsi untuk melaksanakan kurikulum yang disusun oleh pusat, yang
kemudian berimbas pada kurangnya peran dan tanggung jawab masyarakat.
Hal yang menjadi landasan formal,
KTSP disusun dalam rangka memenuhi amanat yang tertuang dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan Peratutan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP jenjang
pendidikan dasar dan menengah mengacu pada peraturan menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar
dan Menengah, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 1006 tentang
Standar Kompetensi lulusan satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Dan Peranan
menteri Pendidikan nasional Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan PP di atas.
Selanjutnya, secara teknis penyusunan KTSP berpedoman pada panduan yang disusun
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Terdapat sejumlah pasal yang
terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dari undang-undang,
peraturan pemerintah, maupun peraturan Mentrei Pendidikan Nasional, yaitu:
- Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional.
Ketentuan dalam UU 20/2003 ruang mengatur KTSP, adalah Pasal1 ayat (19); Pasal 18
ayat (1),(2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 13 ayat (1), (2), (3); Pasal 38 ayat
(1), (2).
- Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar Nasional
Pendidikan.
Ketentuan didalam PP 19/2005 yang mengatur KTSP, adalah
Pasal 1 ayat (5), (13), (14), (15); pasal 5 ayat (1), (2); Pasal 6 ayat (6);
Pasal 7 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8); Pasal 8 ayat (1), (2),
(3); Pasal 11 ayat (1), (2), (3); Pasal 13 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 14
ayat (1), (2), (3); Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 17 ayat (1),
(2); Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 20.
- Standar Isi (SI)
SI mencakup lingkungan materi dan tingkat komunikasi
untuk mencapai komunikasi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Termasuk dalam SI adalah : kerangka
dasar dan struktur kurikulum, standar kompetensi (SK) dan komunikasi dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari
setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. SI ditetapkan dengan
Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.
- Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
SKL merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampikan sebagaimana yang
ditetapkan dengan kepmendikmas No. 27 Tahun 2006.
C.
Konsep Kurikulum dan Pengembangan Berbasis Pendidikan
Karakter
Hakikat Kurikulum
1. Pengertian Kurikulum Secara Etimologis
Webster’s Third New
International Distionery menyebutkan
kurikulum berasal dari kata Curere dalam bahasa latin Currerre yang berarti Berlari cepat, tergesa-gesa, dan menjalani. Currerre dikatabendakan menjadi Curriculum yang berarti lari cepat, pacuan, balapan berkereta, berkuda, berkaki. Perjalanan, suatu pengalaman tanda berhenti dan lapangan perlombaan, gelanggang, jalan.
2. Pengertian Kurikulum
Secara Tradisional
Pertengahan abad
ke
XX
pengertian kurikulum
berkembang
dan dipakai dalam dunia pendidikan yang berarti “sejumlah pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk kenaikan kelas atau ijazah”. Pengertian ini termasuk
juga
dalam pandangan klasik, di mana di sini lebih ditekankan bahwa kurikulum
dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah, yang mencakup pelajaran-
pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum.
Pengertian tradisional ini telah diterapkan dalam penyusunan kurikulum
seperti Kurikulum SD dengan nama “Rencana Pelajaran Sekolah Rakyat” tahun
1927 sampai pada tahun 1964 yang isinya sejumlah mata pelajaran yang diberikan pada kelas
I s.d.
kelas VI.
3. Pengertian Kurikulum
Secara Modern
Menurut Saylor
J. Gallen
&
William
N.
Alexander dalam
bukunya “Curriculum
Planning”
menyatakan Kurikulum adalah “Keseluruhan
usaha
sekolah untuk
mempengaruhi
belajar baik
berlangsung
di
kelas,
di
halaman maupun di luar sekolah”.
Adapun menurut B. Ragan, beliau mengemukakan
bahwa “Kurikulum adalah semua pengalaman anak dibawah tanggung jawab sekolah” Sementara menurut Soedijarto, “Kurikulum adalah segala pengalaman dan kegiatan belajar yang
direncanakan dan diorganisir untuk diatasi
oleh siswa atau
mahasiswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bagi suatu lembaga pendidikan”.
Dari
berbagai
pengertian kurikulum
di atas
dapat disimpulkan bahwa kurikulum ditinjau dari pandangan modern merupakan suatu usaha terencana dan
terorganisir
untuk menciptakan suatu
pengalaman
belajar
pada siswa
di
bawah tanggung
jawab sekolah
atau lembaga pendidikan
untuk
mencapai
suatu tujuan.
4. Pengertian Kurikulum Dari Berbagai Ahli
George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculum is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”.
Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai
suatu pengalaman atau sesuatu yang
nyata terjadi dalam proses pendidikan,
seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa
kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the
guidance of teachers.
Sedangkan Unruh dan Unruh (1984) mengemukakan bahwa “curriculum
is defined as a plan for achieving intended learning outcomes: a plan concerned
with purposes, with what is to be learned, and with the result of instruction”. Ini berarti bahwa kurikulum merupakan suatu rencana untuk keberhasilan
pembelajaran yang di dalamnya mencakup rencana yang berhubungan dengan tujuan, dengan apa yang harus
dipelajari, dan dengan hasil dari pembelajaran.
Sehubungan dengan banyaknya definisi tentang kurikulum,
dalam implementasi kurikulum kiranya perlu melihat definisi kurikulum yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal
1
ayat (19)
yang berbunyi:
Kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan
pembelajaran untuk
mencapai
tujuan pendidikan
tertentu.
a. Dimensi Kurikulum
R. Ibrahim (2005) mengelompokkan kurikulum menjadi tiga dimensi, yaitu
1. Kurikulum sebagai substansi
Dimensi ini memandang kurikulum sebagai rencana kegiatan belajar bagi siswa di sekolah atau sebagai perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu
kurikulum dapat juga
menunjuk pada
suatu dokumen yang berisi
rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar mengajar, jadwal dan evaluasi.
2. Kurikulum sebagai sistem
Dimensi ini memandang kurikulum sebagai bagian dari sistem
prsekolahan, sistem pendidikan dan bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur
personalia dan prosedur
kerja bagaimana cara
menyusun kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem adalah tersusunnya kurikulum.
3. Kurikulum sebagai bidang studi
Dimensi
ketiga
memandang kurikulum
sebagai
bidang studi,
yaitu
bidang study kurikulum. Hal ini merupakan ahli kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Mereka yang
mendalami
bidang kurikulum
mempelajari konsep –konsep dasar
tentang kurikulum melalui bidangstudi
kepustakaan dan kegiatan penelitian dan percobaan, sehingga menemukan hal –
hal baru, yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.
Sedangkan Hamid Hasan (1988) mengemukakan bahwa konsep
kurikulum memiliki empat dimensi pengertian, di mana satu dimensi dengan dimensi
lainnya saling berhubungan. Keempat dimensi
tersebut, yaitu:
1. Kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian,
khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
2. Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujud dari kurikulum
sebagai suatu ide; yang di dalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.
3. Kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
4. Kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai
suatu kegiatan,
dalam bentuk ketercapaian
tujuan kurikulum
yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.
b. Fungsi Kurikulum
Terdapat sejumlah fungsi kurikulum yang dapat dikaji
sebagai berikut:
1. Fungsi Penyesuaian
Fungsi penyesuaian mengandung makna kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifar well adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
2. Fungsi Integrasi
Fungsi integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral masyarakat.ke jenjang yang
lebih tinggi.
3. Fungsi Diferensiasi
Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus
mampu memberikan layanan terhadap perbedaan individu
siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan baik dari aspek fisik maupun psikis.
4. Fungsi Persiapan
Mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memprsiapkan siswa melanjutkan studi ke jenjang pendidikan yang
lebih
tinggi.
5. Fungsi Pemilihan
Fungsi pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat kaitannya dengan fungsi diferensiasi karena pengakuan
atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya kesempatan bagi
siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan
kemampuannya.
6. Fungsi Diagnostik
Fungsi diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat
pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima potensi dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya. Maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi yang dimilikinya aau memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
c. Peranan Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah atau madrasah memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendiidikan. Terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting yaitu:
1.
Peranan konservatif:
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana utuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya yang dianggap masih
relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa.
2.
Peranan kreatif: Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan
sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang.
3.
Peranan kritis dan evaluatif:
Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya
yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan
kondisi yang terjadi pada masa sekarang.
d.
Komponen-Komponen
Kurikulum
Secara umum, kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3)
strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima
komponen tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan.
Sementara komponen-komponen KTSP sebagai model pengembangan
kurikulum yang kini diberlakukan pemerintah terdiri atas tujuan pendidikan
tingkat satuan pendidikan, struktur dan
muatan kurikulum (berisi mata pelajaran, muatan lokal, pengembangan diri,
pengaturan beban pelajaran, kriteria ketuntasan belajar, ketentuan mengenai
kenaikan kelas dan kelulusan, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan berbasis
lokal dan global), kalender pendidikan, struktur
program
dan muatan kurikulum, serta silabus
dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran
dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki wewenang penuh
untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan
kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
e. Pengembangan Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter
Kurikulum dapat
dimaknai sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Pengembangan kurikulum
hendaknya memperhatikan beberapa prinsip pengembangan sebagai berikut:
- Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasakan perinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pecapaian tujuan tersebut
pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan,
kebutuhan, dan kepentingan peserta didik disesuaikan dengan potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan.
- Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan,
serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku,
budaya, adar istiadat, status sosial
ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi koponen muatan wajib kurikulum, muatan
lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dan keterkaitan dan
kesinambungan yang bermakna dan tepat antarasubtansi.
- Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni
kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis.semangat dan dan
isi kurikulum, memberkan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan
memanfaatkan perkembanan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
- Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan
(strakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan,
termasik di dalamnya kehidupan kemasyarakaran, dunia usaha dalam dunia kerja.
- Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi
kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan
disajikan secara berkesinambungan antarsesama jenjang pendidikan.
- Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
- Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan
daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Khusus
terkait dengan pengembangan pendidikan berbasis karakter di lingkungan PGSD dapat
dirancang dimulai dengan penyusunan perencanaan kurikulum yang mengintegrasikan
konsepsi pendidikan karakter. Setidaknya basis pendidikan karakter dalam
kurikulum PGSD dapat dikembangkan melalui integrasi mata ajar PGSD, integrasi
pada program pengembangan diri, dan pengkondisian institution culture PGSD yang mendukung proses pendidikan karakter
bagi peserta didik. Perencanaan
dan pelaksanaan pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter dilakukan secara
bersama-sama oleh pengelola dan stakeholder
PGSD sebagai suatu komunitas pendidik dan diterapkan ke dalam kurikulum melalui hal-hal berikut ini.
Gambar
1. Tiga jalur penerapan pendidikan karakter dalam kurikulum PGSD
1.
Pengembangan Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter
Melalui Pengintegrasian dalam Mata Ajar.
Pendidikan karakter tidak perlu
didesain menjadi mata ajar khusus dalam struktur kurikukum PGSD, melainkan
cukup diintegrasikan kepada seluruh perangkat pembelajaran mata ajar terdapat
dalam struktur kurikulum PGSD. Dalam hal ini, para pengelola PGSD wajib
memiliki komitmen dan kompetensi untuk merumuskan secara mandiri desain Silabus
dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang akan menjadi pedoman kerja. Pengembangan
nilai-nilai pendidikan karakater
diintegrasikan dalam setiap pokok bahasan dari setiap mata ajar. Nilai-nilai tersebut dicantumkan dalam silabus
dan RPP. Pengembangan
nilai-nilai itu dalam silabus ditempuh melalui cara-cara berikut ini:
a.
mengkaji Standar Komptensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
pada Standar Isi (SI) untuk menentukan apakah nilai-nilai karakter yang
tercantum itu sudah tercakup di dalamnya;
b.
memperlihatkan keterkaitan antara SK dan KD dengan nilai
dan indikator untuk menentukan nilai yang akan dikembangkan;
c.
mencantumkankan nilai-nilai karakter bangsa itu
ke dalam silabus;
d.
mencantumkan nilai-nilai
yang sudah tertera dalam silabus
ke dalam RPP;
e.
mengembangkan proses pembelajaran peserta didik secara
aktif yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan
internalisasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku yang sesuai; dan
f.
memberikan bantuan kepada peserta didik, baik yang
mengalami kesulitan untuk menginternalisasi nilai maupun untuk menunjukkannya
dalam perilaku.
Penilaian pencapaian pendidikan nilai budaya dan karakter
didasarkan pada indikator. Sebagai contoh, indikator untuk nilai jujur di suatu semester dirumuskan
dengan “mengatakan dengan
sesungguhnya perasaan dirinya mengenai apa yang dilihat, diamati, dipelajari,
atau dirasakan” maka guru
mengamati (melalui berbagai cara) apakah yang dikatakan seorang peserta didik
itu jujur mewakili perasaan dirinya. Mungkin saja peserta didik menyatakan
perasaannya itu secara lisan tetapi dapat juga dilakukan secara tertulis atau
bahkan dengan bahasa tubuh. Perasaan yang dinyatakan itu mungkin saja memiliki
gradasi dari perasaan yang tidak berbeda dengan perasaan umum teman sekelasnya
sampai bahkan kepada yang bertentangan dengan perasaan umum teman sekelasnya.
Penilaian dilakukan secara terus menerus, setiap saat
guru berada di kelas atau di sekolah. Model anecdotal record (catatan
yang dibuat guru ketika melihat adanya perilaku yang berkenaan dengan nilai
yang dikembangkan) selalu dapat digunakan guru. Selain itu, guru dapat pula
memberikan tugas yang berisikan suatu persoalan atau kejadian yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan nilai yang dimilikinya.
Sebagai contoh, peserta didik dimintakan menyatakan sikapnya terhadap upaya
menolong pemalas, memberikan bantuan terhadap orang kikir, atau hal-hal lain
yang bersifat bukan kontroversial sampai kepada hal yang dapat mengundang
konflik pada dirinya.
Dari hasil pengamatan, catatan anekdotal, tugas, laporan,
dan sebagainya, guru dapat memberikan kesimpulan atau pertimbangan tentang
pencapaian suatu indikator atau bahkan suatu nilai. Kesimpulan atau
pertimbangan itu dapat dinyatakan dalam
pernyataan kualitatif sebagai berikut
ini.
BT : Belum Terlihat
(apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku yang
dinyatakan dalam indikator).
MT : Mulai Terlihat
(apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal
perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten).
MB : Mulai Berkembang
(apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku yang
dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten).
MK : Membudaya (apabila peserta didik terus menerus
memperlihatkan perilaku yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten).
2.
Pengembangan Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter
Melalui Program Pengembangan Diri
Merujuk kepada pedoman dari BSNP tentang
implementasi pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa melalui program
pengembangan diri, implementasinya dilakukan dengan mengembangan hal-hal berikut.
a.
Kegiatan rutin PGSD
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta
didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah upacara pada hari besar
kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut, dan lain-lain) setiap hari Senin,
beribadah bersama atau shalat bersama setiap dhuhur
(bagi yang beragama Islam),
berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru,
tenaga kependidikan, atau teman.
b.
Kegiatan spontan
PGSD
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara
spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru dan
tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari
peserta didik yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui
adanya perilaku dan sikap yang kurang baik maka pada saat itu juga guru harus
melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang
tidak baik itu. Contoh kegiatan itu: membuang sampah tidak pada tempatnya,
berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, memalak, berlaku
tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh.
Kegiatan
spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang tidak baik dan yang
baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang
lain, memperoleh prestasi dalam olah raga atau kesenian, berani menentang atau
mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji.
c.
Keteladanan
Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan
yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi
panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga
kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap
sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenaga
kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh
berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai itu. Misalnya, berpakaian rapi, datang
tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang,
perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan.
d.
Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan
karakter bangsa maka sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan itu.
Sekolah harus mencerminkan kehidupan nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa yang
diinginkan. Misalnya, toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai
tempat dan selalu dibersihkan,
sekolah terlihat rapi
dan alat belajar ditempatkan teratur.
3.
Pengembangan Kurikulum Berbasis Pendidikan Karakter
melalui Institution Culture
Institution
Culture cakupannya sangat luas, umumnya
mencakup ritual, harapan, hubungan, demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan
ekstrakurikuler, proses mengambil keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial
antarkomponen di sekolah. Institution
Culture adalah suasana
kehidupan isntitusi pendidikan tempat peserta didik berinteraksi dengan
sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi
dengan sesamanya, dan antaranggota kelompok masyarakat sekolah. Interaksi internal kelompok dan antarkelompok
terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di
suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras,
disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, dan tanggung jawab merupakan nilai-nilai yang
dikembangkan dalam Institution
Culture.
Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan
budaya dan karakter bangsa dalam budaya sekolah mencakup kegiatan-kegiatan yang
dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika
berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah.
Terkait dengan proses pendidikan karakter
melalui pembentukan budaya sekolah, Schein memberikan pandangan bahwa budaya,
termasuk budaya sekolah, pada dasarnya terdiri atas tiga level sebagaimana
tergambar dalam bagan sebagai berikut:
Gambar
2 Tingkatan Budaya menurut Schein.
Berdasarkan bagan di atas Schein
berpendapat bahwa suatu budaya terbentuk didasari oleh suatu asumsi dasar yang
menjadi sumber utama dari nilai-nilai yang dianut dan dasar tindakan dari
orang-orang yang terlibat di dalamnya, selanjutnya hal tersebut harus terekspos
dalam strategi, tujuan, dan piloshopi yang dianut sekolah untuk kemudian
tervisualisasikan dalam benda-benda atau sarana dan proses-proses yang
dikembangkan sekolah, seperti terejawantahkan dalam struktur organisasi dan
insfrastruktur organisasi sekolah lainnya.
Selain
melalui tiga pendekatan tersebut, kurikulum PGSD berbasis pendidikan karakter dapat
dikembangkan pula dalam tujuh standar utama pengelolaan institusi PGSD yakni Standar
1 terkait visi, misi, tujuan, dan sasaran serta strategi pencapaian. Standar 2
terkait dengan tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan dan penjaminan
mutu. Standar 3 terkait dengan mahasiswa dan lulusan. Standar 4 terkait sumber
daya manusia (dosen dan tenaga kependidikan). Standar 5 terkait dengan
kurikulum, pembelajaran dan suasana akademik. Standar 6 terkait dengan
pebiayaan, sarana dan prasarana serta sistem informasi, dan Standar 7 terkait
dengan penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masayrakat dan kerjasama.
D.
Strategi Implementasi Pengembangan Kurikulum
Berbasis Pendidikan Karakter
Strategi
merupakan kebutuhan dasar bagi setiap organisasi, tanpa strategi visi dan misi
yang sudah disusun sedemikian rupa sulit untuk bisa di wujudkan. Selain sebagai
acuan bagi penentuan taktik dalam melaksanakan misi, strategi bertujuan untuk
mempertahankan atau mencapai suatu posisi keunggulan dibandingkan dengan pihak
pesaing. Hal ini berlaku pula bagi
organisasi pendidikan, visi dan misi yang diramu dalam rencana pengembangan
sekolah/madrasah akan tercapai jika kepala sekolah sebagai pimpinan pada
tingkat satuan pendidikan, secara kolektif bersama para pembantunya dapat
memilih strategi pelaksanaan visi dan misi yang tepat.
Implementasi strategi berhubungan dengan penerjemahan
strategi tersebut menjadi tindakan-tindakan. Problem menerjemahkan strategi
menjadi aksi jelas merupakan bagian penting dari manajemen sterategik, hal
tersebut menjadi faktor penentu ketercapaian visi, misi dan tujuan suatu organsiasi.Bagaimana
strategi pendidikan karakter dalam pembelajaran di madrasah ini dapat
diwujudkan? Tentunya harus dilihat secara komprehenship tentang konsep
pembelajaran itu sendiri. Jika pembelajaran dimaknai sebagai seperangkat komponen rancangan pelajaran yang memuat
hasil pilihan dan ramuan profesional perancang/guru untuk dibelajarkan kepada
peserta didiknya. Dimana rancangan tersebut meliputi 5 komponen (M3SE) yakni; (1) Materi atau bahan
pelajaran, (2) Metode atau kegiatan belajar-mengajar, (3) Media pelajaran atau
alat bantu, (4) Sumber sub 1-2-3, (5) Pola Evaluasi atau penilaian perolehan
belajar. maka strategi implementasi pendidikan
karakter dalam pembelajaran di sekolah dapat
dilakukan melalui seluruh komponen pembelajaran. Dalam tataran operasional,
maka internalisasi tersebut dapat dimulai dari perumusan tujuan institusional,
tujuan kurikulum dan tujuan insturksional/pembelajaran yang menunjukkan adanya
misi internalisasi. Tujuan tersebut akan menjadi payung bagi guru dalam
merencanakan komponen-komponen lainnya, jika rumusan tujuannya menunjukkan
adanya misi internalisasi pendidikan karakter, maka materi, metode, media,
sumber dan evaluasinya pun tentunya akan senapas dengan tujuan tersebut.
Untuk mencapai hal tersebut, maka
diperlukan sosok guru professional yang mampu membuat sebuah ramuan perencanaan
pembelajaran berbasis pendidikan karakter. Prasyarat
guru ideal yang diharapkan dapat mendukung proses internalisasi tersebut dapat
mengacu kepada prinsip profesionalitas guru yang telah ditetapkan dalam UU No
14 tahun 2005 bab III pasal 7 sebagai berikut:
1.
Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
2.
Memiliki komitment untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwanaan dan akhlak mulia
3.
Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai
dengan bidang tugas.
4.
Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas.
5.
Memiliki tanggungjawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan
6.
Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai prestasi kerja
7.
Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat.
8.
Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan, dan
9.
Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Adapun pp No 74 tahan 2008
tentang guru pasal 3 ayat 2 serta Permendiknas No 16 tahun 2007 tentang standar
kualifikasi akademik dan kompetensi guru
menyebutkan bahwa terdapat empat kompetensi utama yang harus dimiliki
guru dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalisme keguruannya, yakni kompetensi
pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional.
Selain diperlukan sosok guru ideal
yang mampu membuat ramuan perencanaan pembelajaran berbasis pendidikan
karakter, dukungan iklim dan budaya sekolah pun akan sangat menentukan hasil
dari proses internalisasi. Demikian halnya dengan ketersediaan sarana dan
prasarana yang mendukung. Peran kepemimpinan dari seorang kepala sekolah akan
sangat menentukan hal tersebut dapat terwujud. Disamping peran serta yang
optimal dari seluruh perangkat sekolah.
Selain melalui upaya di atas, apa
yang diungkapkan oleh Zainal Abidin Bagir, dkk (2005:108) dapat menjadi
referensi para praktisi pendidikan di lingkungan persekolahan dalam
mengembangkan strategi pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter di
lingkungan sekolah. Menurutnya bahwa terdapat empat tataran implementasi
pengembangan, yaitu tataran konseptual,
institusional, operasional, dan arsitektural.
Dalam tataran konseptual, strategi
pengembangan kurikulum berbasis pendidikan karakter dapat diwujudkan melalui
perumusan visi, misi, tujuan dan program sekolah (rencana strategis sekolah),
adapun secara institusional, integrasi dapat diwujudkan melalui pembentukan institution culture yang
mencerminkan adanya misi pendidikan
karakter, sedangkan dalam tataran operasional, rancangan kurikulum dan
esktrakulikuler (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) harus diramu
sedemikian rupa sehingga nilai-nilai fundamental agama prihal akhlak mulia dan kajian ilmu/ilmiah prihal akhlak mulia
terpadu secara koheren. Sementara secara
arsitektural, internalisasi dapat diwujudkan melalui pembentukan lingkungan
fisik yang berbasis pendidikan akhlak, seperti sarana ibadah yang lengkap,
sarana laboratorium yang memadai, serta perpustakaan yang menyediakan buku-buku
prihal akhlak mulia.
Adapun Sulhan (2010) mengemukakan
tentang beberapa langkah yang dapat dikembangkan oleh sekolah dalam melakukan
proses pengembangan kurikulum yang berbasis pendidikan karakter pada siswa. Adapun langkah tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Memasukan konsep karakter pada setiap
kegiatan pembelajaran dengan cara:
·
Menambahkan
nilai kebaikan kepada anak (knowing the good)
·
Menggunakan
cara yang dapat membuat anak memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik
(desiring the good)
·
Mengembangkan
sikap mencintai untuk berbuat baik (loving the good)
2. Membuat slogan yang mampu menumbuhkan
kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah
3. Pemantauan secara kontinu. Pemantauan
secara kontinu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter. Beberapa
hal yang harus selalu dipantau diantaranya adalah:
·
Kedisiplinan
masuk lembaga
·
Kebiasaan
saat makan di kantin
·
Kebiasaan
dalam berbicara
·
Kebiasaan
ketika di tempat ibadah, dll
4. Penilaian orangtua. Rumah merupakan
tempat pertama sebenarnya yang dihadapi anak. Rumah merupakan tempat pertama
anak berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Untuk itulah,
orangtua diberikan kesempatan untuk menilai anak, khususnya dalam pembentukan
moral anak.
Terkait dengan pendidikan berbasis karakter, Doni Koesoema
(2010) mengemukakan bahwa pendidikan karakter
hanya akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan
menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter
yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat
kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik. Pendekatan parsial yang
tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai
keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang
bermoral. Lebih lanjut, Koesoema (2010) memberikan formula bahwa pendidikan
karakter jika ingin efektif dan utuh harus menyertakan tiga basis desain dalam
pemogramannya.
1.
Desain
pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru
sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks
pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks
pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan
banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama
berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan
yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula
adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan
lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.
2.
Desain
pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun
kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata
sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa.
Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan
pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan
penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas
dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
3.
Desain
pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak
berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga,
masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk
mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika
lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak
pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya
untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
E.
Pendidikan Nilai
Menurut penulis, setidaknya kurikulum
yang baik mengandung lima pesan nilai,
antara lain: Pertama, mengandung nilai logis (logical value).
Bahwa materi pada suatu kurikulum mudah dicerna. Semakin tingggi tingkat
kelogisan materi semakin mudah dipahami. Kedua, kurikulum memiliki nilai
etis (etical value). Artinya kurikulum disajikan dengan menggunakan
bahasa dan istilah yang tepat, sesuai dengan perkembangan siswa, serta yang
paling penting tersebut mengandung nilai-nilai kesusialaan atau moral.
Ketiga
mengandung nilai estetis (estetical value), yakni kurikulum menarik
untuk dipandang mata, menarik untuk dipelajari, dan disimak oleh para pembaca.
Hal ini berhubungan dengan struktur, tata letak, pesan-pesan visual. Keempat
mengandung nilai kemanfaatan (teleological value). Artinya bahwa kurikulum
yang baik didalamnya terdapat materi –materi yang bermanfaat. Dengan kata lain,
kurikulum menjadi stiumulus sekaligus
inspirator, sehingga tercipta perubahan dalam cara pandang, sikap, dan perilaku
pembaca menuju ke arah yang lebih baik dan berkualitas. Kelima, kurikulum
memiliki nilai teologis (teological value); yakni kurikulum mampu
membawa kesadaran para pengajar dan pendidik pada keinsyapan diri sebagai hamba
Allah yang lemah dan terbatas dalam memahami sesuatu. Hanya Allah lah yang maha
benar dan maha mengetahui atas segal sesuatu. Nilai yang terakhir inilah yang
terkadang banyak dilupakan oleh banyak orang (Sauri, 2012:1).
F.
Penutup
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan
potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Secara umum, kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3)
strategi, pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi.
Pengembangan kurikulum berbasis
karaktar dapat dilakukan dengan mengintegrasikan seperangkat nilai/karakter
yang mencerminkan visi dan misi lembaga ke dalam setiap komponen kurikulum
tersebut. Pengembangan pendidikan karakter dalam kurikulum PGSD dapat
dikembangkan juga melalui tiga pendekatan yakni pendekatan integrasi mata ajar,
pendekatan pengembangan diri, serta pendekatan pengembangan institution culture. Selain melalui tiga
pendekatan tersebut, kurikulum PGSD berbasis pendidikan karakter dapat
dikembangkan pula dalam tujuh standar utama pengelolaan institusi PGSD yakni
Standar 1 terkait visi, misi, tujuan, dan sasaran serta strategi pencapaian.
Standar 2 terkait dengan tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan dan
penjaminan mutu. Standar 3 terkait dengan mahasiswa dan lulusan. Standar 4
terkait sumber daya manusia (dosen dan tenaga kependidikan). Standar 5 terkait
dengan kurikulum, pembelajaran dan suasana akademik. Standar 6 terkait dengan
pebiayaan, sarana dan prasarana serta sistem informasi, dan Standar 7 terkait
dengan penelitian, pelayanan/pengabdian kepada masayrakat dan kerjasama.
G.
Bahan Lokakarya
1.
Anda diminta untuk menggambarkan situasi pendidikan
yang sedang berlangsung di Indonesia , dengan dilandasi berpikir filosofi.
2.
Penataan pendidikan ke arah yang lebih baik, diawali
dengan data2 fenomena yang sedang berkembang dihubungkan dengan teori sebagai
pijakan keilmuan, melahirkan permasalahan yang sangat jelas, dan solusi yang
harus segera diwujudkan. Bagaimana pandangan Anda?
3.
Bagaimana Anda membuat rancangan kurikulum PGSD
berbasis pendidikan karakter secara holistik?
4.
Pengembangan nilai karakter lokal dalam kurikulum
PGSD lebih berharga dan dan bermanfaat. Silakakan karakter apa saja yg perlu
dikembangkan.
5.
Diskusi dan kesamaan persepsi dalam lokakarya
tersebut akan membuka cakrawala berfikir
dan penguatan perbaikan pendidikan di Indonesia.
H.
Daftar Pustaka
Ansyar,
Mohd. dan H. Nurtain. (1992). Pengembangan dan Inovasi Kurikulum.
Jakarta: P2TK Ditjendikti Depdikbud.
Arsyad,
S.A. (2010). Character Education, Disajikan
Pada Sarsehan Nasional Pendidikan Karakter, Dikti Kementerian Pendidikan
Nasional di Hotel Murcure Pontianak, Tanggal 17 April 2010.
Aunurrahman.
(2009). Eksistensi dan Arah Pendidikan Nilai. Pontianak: STAIN Pontianak
Press.
Aziz
Hamka Abdul. (2011). Pendidikan Karater
berpusat pada Hati. Jakarta: Almawardi Prima
Frondizi Risieri. (2001). Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta; Pustaka
Pelajar
Keosoema, Doni.
(2009). Pendidikan Karakter. Jakarta:
Grasindo
Keosoema,
Doni (2007). Pendidikan
Karakter, strategi mendidik anak di zaman gobal. Jakarta: Grasindo
Keosoema,
Doni. (2009). Pendidikan
Karakter di zaman keblinger. Jakarta: Grasindo
Keosoema, Doni. (2010). Pendidikan
Karakter Integral.
Kompas, 11 Februari 2010
Mulyana Rahmat. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung; Alfabeta.
Mulyo,
Karso. (2009). Membangun Karakter Bangsa
melalui Pembelajaran kontektual. Tersedia, online: http//mitrawacanawrc.com.
Munir Abdullah.
(2010). Pendidikan Kalakter. Yogyakarta: Pedagogia.
Najib
Sulhan. (2010). Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: Jape Press Media
Utama (Jawa Pos Grup).
Phenix,
P.H. (1964). Realism of Meaning. New York San Fransisco: Toronto,
London: McGraw-Hill Book Company.
Sauri, S, (2011), Filsafat Teosofat Akhlak, Bandung,
Rizqi.
Sauri, S, (2012), Pendidikan Karakter dalam Perspektif
Islam, Bandung, Rizqi
Sauri,S, (2006), Pendidikan Berbahasa Santun, Bandung, PT Genesindo.
Sauri, S, (2006), Memebangun Kominikasi dalam Keluarga.
Bandung, PT Genesindo.
Sauri, S, (2012), Penilaian Buku Pada Mata Pelajaran PAI
SMP,SMA, (Makalah), Jakarta, Pusat Kurikulum (Puskur).
Sanjaya,
Wina. (2009). Kurikulum Dan Pembelajaran: Teori Dan Praktik Pengembangan
Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Subandijah, (1993). Pengembangan
Dan Inovasi Kurikulum. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sudirman, dkk. (1989). Ilmu Pendidikan. Bandung:
Remadja Karya.
Sudjana, Nana. (1996). Pembinaan &
Pengembangan Kurikulum di Sekolah. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2005). Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Susilana, Rudi
dkk. (2006). Kurikulum dan
Pembelajaran. Bandung: Jurusan Kutekpen FIP UPI.
Syaripudin,
Tatang. (2008). Landasan Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu.
Q-Anees
Bambang, Hambali Adang. (2008). Pendidikan
Kalakter Berbasis Al-Quran. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
* Disajikan pada Seminar dan Lokakarya pada hari Minggu
tanggal 11 November 2012 di Auditorium FPBS UPI
* Penulis adalah Prof Dr.H. Sofyan Sauri, MPd, Dosen Pendidikan Bahasa Arab
FPBS Sekolah Pascasarjana, Guru Besar Universitas Pendidikan Indeonesia, Ketua
Umum DPP Adspensi Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar