Buku teks sendiri adalah paduan khusus yang menjadi
pegangan untuk siswa, layaknya buku panduan yang memudahkan pengguna gadget,
google map untuk para perjelajah jalanan dan kamus bagi penerjemah.
Sepenting itulah buku teks dalam permbelajaran, yang dapat menjembatani guru
dan murid agar tidak mengalami jurang pemahaman yang keliru serta menjadi guide
dalam pembahasan teori yang kadang berlebihan, pula fasilitas murah bagi
murid yang tamak akan ilmu pengetahuan. Tentu ikatan antara buku teks dan
pembelajaran tak bisa diragukan lagi.
Soal kehawatiran lain, tinggal bagaimana sikap kita
dalam mengunakan buku teks tersebut, jangan sampai terlalu memanfaatkan buku
teks yang kadang mendominasi pembelajaran. Hal ini yang banyak sekali terjadi
di sekolah-sekolah. Karena adanya buku teks apa lagi LKS. Pendampingan guru
terhadap proses pembelajar menjadi kurang, karena guru merasa sudah merasa
cukup akan materi-materi yang telah tersaji pada buku teks.
Itulah sebatas pemikiran dari hasil pembelajran dan
pengalaman, dikarenakan keterbatasan keilmuan, setelah saya mencari bahan
referensi di buku, diktat dan papan seluncur, maksud saya tempat berseluncur
yaitu internet saya menemukan artikel yang menarik yang bisa dibaca-baca
Pembelajaran dengan buku teks pelajaran merupakan dua hal yang saling
melengkapi (Suryaman, 2006). Pembelajaran akan berlangsung secara efektif
manakala dilengkapi dengan media pembelajaran, yakni -- yang cukup penting --
berupa buku teks pelajaran. Buku teks pelajaran dapat disusun serta digunakan
dengan baik jika memperhatikan prinsip-prinsip dalam pembelajaran. Di dalam
pembelajaran tersangkut masalah siswa, guru, materi bahan ajar, cara penyajian
bahan ajar, serta latihan. Komponen ini harus tercermin di dalam buku teks
pelajaran. Ketercerminan saja tidak cukup. Buku teks pelajaran harus berisi
pula hasil pengolahan atas komponen-komponen tersebut dalam satu kesatuan yang
padu sehingga materi bahan ajar, cara penyajian materi bahan ajar, dan latihan
materi bahan ajar dapat dengan mudah dipahami dan dipraktikkan, baik oleh siswa
maupun guru.
Sehubungan
dengan itu, buku teks pelajaran juga harus mengakomodasi prinsip-prinsip
pembelajaran tersebut. Selama ini prinsip yang mendapat perhatian besar adalah
materi bahan ajar. Perhatian yang berlebihan terhadap materi bahan ajar serta
mengabaikan komponen yang lain mengakibatkan buku teks pelajaran lebih
mengutamakan hasil, dan mengabaikan proses. Orientasi yang berlebihan terhadap
hasil malahan mengakibatkan Nilai Ebtanas Murni (NEM) pada masa lalu dan nilai
ujian nasional pada masa kini belum mencapai harapan yang memuaskan. Buku teks
pelajaran hanya difungsikan sebagai tempat yang mengandung materi bahan ajar
yang dapat dihapalkan. Kemampuan siswa pun hanya sebatas kemampuan menghapal.
Ketika dihadapkan pada masalah yang berbeda, siswa tidak mampu memecahkannya.
Akhirnya, buku teks pelajaran hanyalah memperkuat anggapan bahwa belajar
berbahasa adalah belajar tentang pengetahuan bahasa, bukan belajar membaca,
menulis, berbicara, dan mendengarkan; belajar bersastra adalah belajar tentang
pengetahuan sastra, bukan belajar berapresiasi, berekspresi, maupun berkreasi
dengan sastra; dan sebagainya
Pola penyusunan buku teks pelajaran yang demikian dianggap tidak berhasil,
bukan disebabkan oleh kurikulum atau apapun, melainkan oleh ketidaksesuaiannya
dengan hakikat buku teks pelajaran. Pada hakikatnya buku teks pelajaran
merupakan media pembelajaran. Sebagai media, buku itu harus berisi materi bahan
ajar, cara penyajian bahan ajar, dan model latihan bahan ajar. Materi yang
dijadikan bahan ajar harus disajikan dengan cara tertentu sehingga siswa
memiliki kemampuan berkenaan dengan pemahaman, keterampilan, dan perasaan.
Sebagai refleksi atas kemampuan tersebut, siswa dapat memecahkan
persoalan-persoalan yang diajukan di dalam latihan. Begitupun bagi guru. Buku
teks pelajaran harus mampu membantu guru berkenaan dengan cara mengajarkan
serta menguji kemampuan siswa berkenaan dengan materi tersebut.
Secara teoretis, guru berpengalaman dapat mengajarkan materi tanpa
buku teks pelajaran. Akan tetapi, cara
demikian tidak akan berlangsung lama.
Banyak guru yang tidak sempat untuk menulis materi pelengkap sehingga
mereka hanya berpijak pada buku teks pelajaran. Artinya, buku teks pelajaran
memiliki posisi yang sangat penting dalam kelas. Oleh karena itu, buku teks
pelajaran harus disusun seefektif dan seefisien mungkin sehingga siswa dan guru
terbantu dalam belajar dan mengajar di rumah maupun di kelas.
Penyajian materi merupakan tahap kedua setelah materi
tersedia. Materi itu dapat meliputi pengetahuan seperti fakta, konsep, prinsip, dan prosedur;
keterampilan, seperti kemampuan menerapkan prosedur; serta sikap, seperti
nilai. Ibarat seorang juru masak, penyediaan materi merupakan tahap awal
sebelum memasak. Rasa, aroma, dan kelezatan suatu masakan tergantung kepada
cara pengolahan juru masak dan cara penyajian pramusaji. Antara juru masak yang
satu dengan juru masak yang lain akan menghasilkan masakan dengan rasa, aroma,
dan kelezatan yang berbeda sekalipun bahan sama. Semua tergantung kepada
pengalaman, keterampilan, wawasan, dan sebagainya dari juru masak.
Hal demikian terjadi pula di dalam
penyusunan buku pelajaran. Setelah bahan materi seperti dikemukakan di atas
tersedia, penulis harus mengolahnya agar buku pelajaran yang disusunnya
menghasilkan menu yang mampu membangkitkan selera pembaca (siswa). Kemampuan
ini tampak ketika siswa dipermudah, dibangkitkan minatnya, dikembangkan daya
tariknya, dirangsang skematanya, dikembangkan daya pikir dan ciptanya,
ditumbuhkan aktivitas dan kreativitasnya, serta ditimbulkan keinginan untuk
mencoba oleh buku pelajaran. Tentu pula buku yang ditulis oleh seseorang akan
berbeda dengan penulis yang lainnya. Hal ini tergantung kepada pengalaman,
keterampilan, wawasan, dan sebagainya dari penulis.
Berdasarkan
paparan di atas tampak bahwa penyajian materi berkenaan
dengan penataan materi di dalam buku pelajaran. Penataan ini dimaksudkan agar
mudah, menarik, membangkitkan minat, membangun skema, mengembangkan daya pikir
dan daya cipta, beragam, menimbulkan aktivitas dan kreativitas, menimbulkan keinginan untuk mencoba, dan sebagainya.
Penyajian materi di dalam buku pelajaran tidak hanya
didasarkan persepsi penulis semata. Cara mengolah dan kemudian menyajikannya di
dalam buku pelajaran, haruslah didasarkan atas pandangan teori belajar.
Artinya, peguasaan teori belajar menjadi sangat signifikan untuk dikuasai oleh
penulis buku pelajaran. Belajar
adalah bagaimana cara siswa membangun pengalaman baru berdasarkan pengalaman
awal. Prinsip ini mengarahkan kita bahwa sumber belajar yang paling otentik
adalah pengalaman. Menurut Covey (2006) belajar merupakan upaya untuk
mengilhami diri kita dan orang lain. Caranya adalah kenali diri dan dengarkan
hati nurani kita. Pengenalan diri dan penyertaan hati nurani menyiratkan betapa
tingginya nilai pengalaman.
Sejak tahun 1916, John Dewey telah menyatakan bahwa
siswa akan belajar dengan baik jika yang dipelajarinya terkait dengan apa yang
telah diketahuinya. Para ahli psikologi belajar mutakhir pun semakin memperkuatnya. Piaget, misalnya, dengan teori skemanya menjelaskan
bahwa perkembangan intelektual anak muncul melalui proses penciptaan pengetahuan
baru berdasarkan pengetahuan yang sudah ada pada diri si anak. Ia memberikan contoh tentang seorang anak kecil dari kota yang diajak
berjalan-jalan oleh ayahnya ke suatu desa. Ia melihat seekor sapi di ladang.
Kemudian anak itu berkata: “Ayah, lihat, itu ada anjing besar” (Barry, 1977 dan
Suryaman, 2001).
Pengambilan
kesimpulan “anjing besar” didasarkan pengetahuan awal anak tentang anjing, namun pengetahuan anak tentang sapi belum dikenalnya. Di sini anak
mencoba menempatkan stimulus yang baru (sapi)
pada pengetahuan awalnya. Stimulus baru itu kira-kira mirip dengan seekor anjing (yang sudah dikenal) sehingga ia mengidentifikasikan objek
tersebut sebagai seekor anjing. Si
anak belum mampu membedakan antara sapi dengan
anjing tetapi sudah mampu melihat
kesamaannya.
Begitupun dengan Ausubel (Biehler, 1978) yang
menyatakan bahwa perlunya pengorganisasian awal (advanced organizer) sebagai jembatan konseptual antara sesuatu yang
telah diketahui dengan sesuatu yang baru. Syaratnya, sesuatu yang telah diketahui
itu stabil, jelas, terbedakan dari yang lain, serta berkaitan dengan hal yang
baru.
Piaget kemudian memaknai belajar sebagai pemrosesan
pengalaman yang secara konstan mengalami pemantapan sesuai dengan informasi
baru yang diperoleh. Semakin banyak pengalaman, semakin bertambah pula
penyempurnaan skema seseorang. Para pakar teori skema memastikan bahwa latar
belakang pengalaman yang kaya akan sangat membantu keberhasilan belajar.
Pengalaman yang kaya itu bisa diperoleh dengan berbagai cara, di antaranya dengan
jalan membaca, khususnya membaca buku teks pelajaran. Semakin banyak seseorang
membaca, akan semakin meningkat pula kemampuan membacanya. Hasil penelitian Yap
(1978) mendukung pernyataan tersebut, yakni tingkat keterampilan membaca
seseorang ditentukan oleh 65% banyaknya membaca. (sumber: journal.uny.ac.id. oleh M Suryaman)
Oia, ada yang perlu dingat bahwa
ketersediaan buku teks juga akan mempengaruhi pembelajaran, kerena bisa saja
ada siswa yang memang kurang mendayagunakan buku teks yang telah menjadi
pegangan. Jadi sebaiknya dalam proses pembelajaran guru tidak terlalu mengandalkan
buku teks. Jadikan buku teks hanya sebagai media pembalajaran saja yang dapat
memudahkan guru dalam hal memahamkan mata pelajaran maupun murid yang dapat
mengkoneksikan pikiran antara apa-apa yang dijelaskan oleh guru dengan tulisan
dan penjelasan detail yang terdapat pada buku teks.
Terlebih zaman era kemudahan seperti sekarang ini,
internet yang sudah bukan menjadi barang langka, akan lebih memudahkan murid
dalam mencari informasi apapun. Baik-buruknya tergantung seperti apa
pemakaianya. Dan guru disini berperan menjadi filter agak murid tidak salah
faham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar