Alkisah, ada dua orang saudara seayah dan
seibu keturunan bani Israel, Meskipun mereka adalah saudara sekandung, namun
tabiat mereka berbeda, seperti bedanya satu tumbuhan dengan tumbuhan yang
lainnya padahal tanahnya sama atau seperti bedanya bunga-bungaan padahal tumbuh
dari tangkai yang sama.
Yang satu bernama Yahudza. Dia adalah anak
yang saleh dan taat kepada perintah-perintah Tuhannya. Dia menyadari kemapuan
dirinya sebagai hamba Allah, selalu menjaga kemuliaan diri, lemah lembut, dan
tidak terobsesi dengan gemerlapnya dunia.
Adapun saudaranya bernama Qutrus adalah anak
yang ingkar dan kafir terhadap kenikmatan Allah Swt, tamak, kikir, dan bakhil,
hatinya keras, dan perangainya kasar.
Mereka diasuh oleh ayahnya dalam keadaan yang
berkecukupan. Hingga akhirnya sang ayah meninggal dunia, dan meninggalkan harta yang
melimpah kepada keduannya. Harta itu dibagi sama rata kepada Yahudza dan
Qutrus, namun keduanya mengelolanya sesuai denga tabiat dan kecenderungan
mereka masing-masing.
Yahudza menafkahkan hartanya itu untuk
kemaslahatan agama. Dia berkata,”Wahai Tuhan. Saya akan mengeluarkan hartaku
untuk memndapatkan ridha-Mu. Saya akan gunakan semua hartaku itu untuk ketaatan
kepada-Mu, mensyukuri nikmat-Mu dan mengharap surga-Mu.” Dia kemudian
menginfakkan hartanya, memberikan kepada orang yang meminta-minta dan
membutuhkan, membantu orang yang kesusahan, menggunakannya untuk kebajikan,
membantu orang yang kesusahan,
menggunakannya untuk kebajikan, membantu orang yang kesulitan, hingga akhirnya
hartanya tinggal sedikit dan hampir habis, namun dia tetap merasa senang,
hatinya damai dan merasa cukup dengan harta yang tersisa.
Adapun Qutrus, setelah menerima harta warisan
dari ayahnya, dia langsung menyimpannya dengan rapi dan mengusir setiap orang yang meminta
bantuan kepadanya. Dia menutup mata terhadap kesusahan dan kekafiran yang
menimpa orang-orang yang ada disekitarnya. Harta yang diperoleh, digunakan untuk membangun tembok yang megah, dan membuat taman
yang luas dan indah. Setelah lama dirawat dengan baik, tamannya itu kelihatan
indah; penuh dengan tetumbuhan yang rindang, berbuah lebat dan terasa sejuk.
Tidak lama kemudian dia membuat kebun lagi disamping kebun pertamanya itu. Di antara
dua kebun itu, terbentang jalan yang indah dan bagus. Dia juga membuat perairan
yang memadai untuk keperluan kebunnya itu. Disepanjang pematangan air, tersapat
pohon kurma yang tertanam dengan rapi.
Setiap orang yang melihat dua kebun ini akan tergakum-kagum dan serasa melihat
surga jatuh ke bumi dan akan kekal selamanya. Bagaimana tidak, pohonnya rindang
dan sering berbuah, airnya sejuk dan banyak bunga di sana sini. Setiao mata
yang melihat akan terpana dan terpesona.
Allah melapangkan rezeki bagi Qutrus. Hartanya
semakin berlimpah, kebunnya sering berbuah, anaknya semakin bertambah sehingga
bisa membantu ayanya mencari tambahan rezeki dan nafkah.
Dalam kondisi yang berkecukupan seperti ini,
seharusnya Qutrus merenungi keagungan penciptanya yang telah banyak memberinya
anugrah. Seharusnya dia beriman, bertambah taat, dan bersyukur kepada Allah
Swt. Namu kenikmatan yang melimpah seringkali menutupi mata hati seseorang. Dia
terpesona dengan dunia yang didapat dan terjerembap dalam kelalaian dan
kekufuran, hingga akhirnya dia nanti mendapat musibah yang tidak terduga-duga.
Dan disaat itulah baru menyadari bahwa selama ini dia terlena dan lupa terhadap
sang Pencipta. Begitulah kondiri Qutrus yang semakin sombong dengan kenikmatan yang melimpah.
Suatu hari, Yahudza yang mengendarai kuda
bertemu dengan Qutrus. Melihat kondisi Yahudza yang miskin, Qutrus memandangnya
rendah, dan berkata kepadanya,”Mana harta, perak, dan emasmu? Sungguh jau
perbedaan antara kondisiku dan kondisimu. Kami miskin, hina, dan tidak punya
banyak kawan. Sedangkan aku adalah orang kaya, seperti yang kamu lihat,
berkecukupan, sejahtera, dan mulia. Saya punya banyak harta, rumah, dan para
pembantu. Cobalah masuk ke surgaku, kamu akan melihat pepohonan yang rimbun,
hijau dan sedap dipandang mata, air yang mengalir dan sejuk, buah-buhan ranum
bergelantungan. Lihatlah buah yang ini, dia selalu berbuah tiap tahun. Kebun
ini adalah harta terindah yang saya yakin tidak akan berakhir dan rusak. Adapun
hari Kiamat yang kamu yakini akan terjadi, dan hari kebangkitan yang tidak
lekas terjadi, saya tidak mempercayainya dan saya anggap sebagai pembicaraan yang
tidak masuk akan. Kalaulah yang kamu katakan itu nanti benar-benar terjadi,
maka saya yakin bahwa Allah akan memberi anugrah yang lebih baik kepadaku dari
kebun milikku ini. Bila Allah telah membuatku kaya dan memberku anugrah tak
terkira di dunia, maka tidak ada yang menghalangi-Nya untuk memberiku anugrah
yang lebih baik besok si akhirat.”
Yahudza berkata kepada saudaranya itu,
“Sungguh kamu telah kafir terhadap Allah, karena kamu mengingkari hari
kebangkitan. Di hari itu kamu dibangkitkan dari kematian dan amalmu akan
dihitung. Ketahuilah, Zat yang menciptakanmu mamou membangkitkan dari
kematianmu.
Kamu mengganggap hina diriku karena saya orang
miskin. Dan kamu membanggakan diri, sombong, takabur, dengan harta yang kamu
miliki. Mungkin kamu heran bila saya berkata,”Sesungguhnya saya lebih kaya dari
kamu. Kekayaan bukanlah diukur dengan harta. Kekayaan diukur dengan kadar
kezuhudan seseorang terhadap kenikmatan dunia dan ketidaktergantungannya dengan
kehidupan dunia. Janganlah kamu menilai seseorang dengan melihat harta yang
dimilikinya. Kemuliaan itu menurutku adalah bila saya dianugrahi kecukupan
dengan makanan yang cukup untuk menghilangkan rasa laparku, dianugrahkan
kesehatan yang bisa membantuku untuk bekerja dengan sungguh-sungguh dan
dianugrahi rasa aman ketika berkumpul dengan para sahabat dan tidak ada
pembatas antara diriku dan orang lain. Saya lebih suka merasa lapar kemudian
memanjatkan doa kepada Allah supaya saya dianugrahi rezeki dan makanan yang
cukup daripada saya kaya namun sombong dan angkuh dihadapan orang lain, jauh
dari masyarakat karena mereka takut dengan kekuasaan yang saya miliki hingga
akhirnya saya jauh dari kasih sayang serta keridhaan Allah Swt serta jauh dari
agama dan syariat-Nya.”
Sumber: Akhlaqu Nabiy fii Shahih Bukhari wal Muslim - Abdul Mun'im - Kairo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar