Sikap tawadhu’
adalah kebalikan dari sikap sombong. Tawadhu’ adalah bagiam dari akhlak yang
mulia, sedangkan kesombongan termasuk akhlak yang tercela
Tawadhu’ adalah sikap rendah hati, namun tidak
sampai merendahkan kehormatan diri dan tidak pula memberi peluang orang lain
untuk melecehkan kemuliaan diri.
Takabur adalah sikap merasa lebih unggul atau lebih mulia di bandingkan dengan yang lain. Kesombongan adalah sikap terlalu yakin terhadap diri
sendiri, hingga muncul perasaan menganggap rendah dan hina pihak lain serta
enggan berkumpul dengan orang lain. Orang seperti ini tidak mau menerima
perbedaan pendapat apalagi nasihat orang lain. Bila ada orang yang
mengingatkannya dia akan marah bahkan menghina orang tersebut.
Coba kita lihat, bila seseorang mempunyai
sikap tawadhu’, maka akhlak-akhlak mulai lainnya akan muncul pada dirinya,
seperti perasaan bahwa manusia ini sama, lebih mengutamakan orang lain,
toleran, bisa memahami perasaan orang lain, dan mau membantu orang yang
terzalimi
Adapun kesombongan akan menjurumuskan
seseorang kepada sikap-sikap negatif yang lain, seperti, iri hari, benci,
pemarah, egois, terperdaya dengan diri sendiri, dan ingin menguasai.
Orang yang mempunyai sifat sombong cenderung
merendahkan kawan-kawan sesamanya. Bila dia telah mengusai pengetahuan
tertentu, maka dia akan menghina dan mencela kawan-kawannya yang ketinggalan
pengetahuannya. Bila berinteraksi dengan orang lain, dia mengganggap bodoh dan
menghina mereka, dan bila mengerjakan sesuatu, dia suka menyelesaikannya
sendiri.2
Karena sikap sombong dan ‘ujub (bangga terhadap diri sendiri) hampir sama, maka Imam
al-Ghazali membuat perbandingan antara keduanya.
Dia menegaskan bahwa takabur berbeda dengan ‘ujub;
orang yang ‘ujub tidak akan menyakiti pihak lain, karena dia hanya
sebatas membanggakan diri secara berlebihan, namun tidak disertai dengan sikap
merendahkan atau menghina pihak lain. Takabur juga berbeda dengan al-‘adhamah (merasa
bangga dengan potensi yang ada), karena orang yang dalam hatinya ada perasaan ‘adhamah,
masih menganggap ada orang lain yang lebih baik dan lebih bagus darinya, atau
paling tidak masih ada yang menyamainya.3
Dalam kitab tahzib al-akhlak, Ibnu Maskawaih
berkata,”Orang yang pandai dan terhormat seharusnya terhindar dari sifat
takabur dan bangga terhadap diri sendiri. Ada sebuah kisah, seorang penguasa
berbangga diri di hadapan seorang hamba sahaya yang pandai. Melihat hal ini,
hamba sahaya tersebut berkata,’Bila kamu berbangga diri kepadaku ataas kuda
yang kamu miliki, maka keistimewaan yang engkau banggakan adalah milik kuda
bukan milikmu. Bila kamu berbangga diri karena bajumu, maka yang bagus adalah
bajumu, bukan dirimu, dan bila kamu membanggakan diri karena kehormatan nenek
moyangmu, makan kehormatan itu adalah milik mereka bukan milikmu”4
2 Ihya ‘Ulumiddin, 3/299
3 Ibid.
4 Tahzib
al-Akhlak, hlm. 164
sumber: akhlaqun Naby fii Bukhori Muslim - Abdul Mun'im
Tidak ada komentar:
Posting Komentar