Zaman telah berubah, berubah pula pola pikir
masyarakat secara umum, mana yang akan kita ikuti, yang jelas harus didasari pada Al-Qur’an dan
As-sunnah, jangan sampai terjebak pada buayan yang tak pasti, apalagi kita tak
tahu apa yang kita ikuti.
Saat ini, wanita yang katanya ingin dihormati dan
dihargai, bukannya membuat dirinya bernilai, tapi malah sebaliknya, perilaku
mereka lah sendiri yang menunjukan betapa tidak berharganya mereka, kehormatan
wanita dijatuhkan bahkan dipertontonkan diberbagai media masa, apakah itu tidak
tragis?!
Pada zaman jahiliyyah, wanita dianggap sebagai malapetaka,
terasing dan terhina, setelah Islam dating, wanita adalah sebuah berlian yang
tak ternilai harganya, tak ada yang berani mencurinya. Tapi kenyataannya
sekarang kita seakan kembali pada zaman jahiliyyah.
Kaitannya dengan pendidikan, seorang wanita adalah
modal utama majunya dunia pendidikan, karena peran wanita disana sangatlah
fital dan penting bila dibandingkan dengan dunia pekerjaan atau kantoran.
Mulialah seorang wanita yang memahami kodrat nya,
mendidik adalah ahlinya, rumah adalah Istananya dan generasi muda adalah
tentaranya, maka tak heran bila seorang guru konsultasi atau biasa kita sebut
guru BK itu selalu perempuan
A. Wanita Dalam Pandangan Masyarakat Arab Jahiliyyah
Sekarang
kita akan membahas bagaimana keadaan wanita dalam pandangan masyarakat Arab
sebelum Islam. Bagaimana cara mereka memperlakukan wanita, dan bagaimana posisi
wanita dalam struktur masyarakat pada masa kini
Keadaan
wanita dalam pandangan bangsa Arab sebelum Islam sangatlah hina dan rendah.
Bahkan saking rendah dan hinanya, wanita pada masa itu diletakan pada
derajat yang tidak selayaknya bagi
manusia. Semua hak mereka dihapus, dengan kepentingan hidup mereka sekalipun.
Mereka tidak boleh menerima harta warisan, karena dalam stradisi mereka, orang
yang berhak mendapat harta warisan
hanyalah mereka yang sanggup berperang dan mempu melindungi
anak-anaknya. Wanita tidak mempunyai hak untuk menolak atau sekedar memberi
saran dalam urusan pernikahannya. Segala urusannya diserahkan kepada walinya,
bahkan seorang anak laki-laki berhak melarang janda ayahnya (yang tidak lain
adalah ibunya) untuk menikah lagi, kecuali bila sang janda memberikan semua
harta yang diterima dari suaminya kepada anak laki-lakinya itu. Seorang anak laki-laki
juga bias berkata : “ akulah yang mewarisi janda ayahku sebagaimana aku
mewarisi harta warisan lainnya dari ayahku.” Artinya anak laki-laki berhak
menikahi janda ayahnya tanpa mahar atau menikahinya dengan laki-laki lain
dengan syarat maharnya diserahkan kepada anak laki-laki tersebut. Dalam sebuah
riwayat dari Ibnu ‘Abbas disebutkan:” Jika seorang laki-laki tunggal mati ayah
kandung atau ayah mertuanya, dialah yang lebih berhak atas istri mereka. Dia
bias menjadikannya sebagai istri (tanpa mahar) atau menahannya (melarang
menikah dengan laki-laki lain), kecuali setelah menebus dirinya dengan mahar
(yang didapat dari suaminya) atau menahannya sampai janda itu mati, lalu anak
laki-laki itulah yang berhak atas semua harta bendanya. (Jaami’ul Bayaan karya
Ath-Thabari, juz IV, hlm. 307)
Seorang
laki-laki dalam masyarakat Arab jahiliyyah boleh memiliki beberapa istri tanpa
batas dan perceraian juga tidak asa nilainya. Ada 4 bentuk perkawinan yang
berlaku pada masyarakat Arab jahiliyyah sebagaimana dijelaskan dalam shohih
bukhori dan lainnya. Dari ummul mukminin,’Aisyah ra. Berkata:”Sesungguhnya
perkawinan pada masa jahiliyyah ada empat bentuk. Pertama, perkawinan pada masa
saat ini, yaitu seorang laki-laki dating kepada laki-laki lain untuk meminang
seorang wanita yang ada di bawah perwaliannya atau anak perempuannya (sendiri).
Selanjutnya laki-laki tersebut memberikan mahar kepada wanita yang dimaksud dan
menikahinya. Kedua, seorang suami berkata kepada istrinya –setelah si istri
suci dari haidnya-:”Pergilah ke tempat si fulan dan berhubungan intimlah
dengannya!” selanjutnya, si suami tidak menggaulinya dan tidak menyentuh
istrinya sampai benar-benar jelas bahwa kehamilan istrinya itu lantaran
laki-laki yang menyetubuhinya tadi. Apabila si istri sudah positif hamil, suami
bias menggaulinya kembali jika dia suka. Biasanya perkawinan seperti ini dilakukan
untuk mendapatkan anak berbibit unggul (mulia, kuat dan gagah). Perkawinan
semacam ini biasa disebut perkawinan istibdha’.
Bentuk
perkawinan ketiga adalah sekelompok laki-laki yang jumlahnya dibawah sepuluh
berkumpul, kemudian secara bergantian mereka melakukan persetubuhan dengan
seorang wanita. Apabila wanita itu hamil dan melahirkan. Maka setelah lewat
beberapa hari dari persalinannya, perempuan itu memanggil semua laki-laki yang
telah menyetubuhinya, tanpa ada seorang pun dari mereka yang boleh menolak.
Setelah mereka semua hadir, perempuan itu berkata:’kalian semua sudah tahu apa
yang terjadi dan anak itu telah lahir, maka ia adalah anakmu, wahai fulan!’
perempuan itu menyebut nama laki-laki yang dia sukai dan dilakukanlah anak
tersebut kepada laki-laki yang ditunjuknya tadi tanpa boleh menolaknya.
Bentuk
ke empat adalah sekelompok laki-laki dalam jumlah besar berkumpul, kemudian
mendatangi wanita yang tidak pernah menolak siapapun yang mendatanginya. Mereka
adalah pelacur. Mereka biasanya memasang bendera dipintu kamarnya sebagai
tanda. Siapapun yang ingin, ia dapat meniduri wanita-wanita itu. Jika salah
satu diantara mereka hamil, lalu melahirkannya, mereka semua berkumpul,
kemudian dipanggilah seorang dukun (ahli nasab). Selanjutnya, mereka
menisbatkan bayi itu kepada seorang
laki-laki berdasarkan penglihatan si dukun dan bayi itu pun dianggao sebagai
anaknya. Laki-laki itu tidak boleh menolaknya.
Riwayat
ini, tanpa perlu penjelasan lagi, jelas menggambarkan betapa rendahnya akhlaq
manusia pada masa jahiliyyah dan betapa perilaku mereka itu sama dengan
binatang. Bentuk perkawinan yang mana seorang suami mengirim istrinya kepada
orang lain agar mendapat anak berbibit unggul, adalah tindakan yang sama persisi ketika ia mengirim
ternaknya kepada penjantan jenis unggulan (untuk dikawinkan) agar menghasilkan
keturunan yang berkualitas. Demikian juga halnya dengan bentuk pernikahan yang
mana beberapa lelaki dibawah sepuluh orang mendatangi seorang wanita secara
bersama-sama, kemudian mereka semuanya menyetubuhi wanita tersebut. Setelah
melahirkan, wanita itu bebas memilih salah seorang dari mereka sebagai ayah
dari anak yang dilahirkannya.
Disamping
itu, seorang laki-laki Arab pada masa jahiliyyah bila diberi kabar bahwa
istrinya telah melahirkan anak perempuan, seketika itu merah padamlah wajahnya
karena menahan marah, sedih dan malu seakan sebuah malapetaka besar telah
menimpanya. Al-qur’an telah menggambarkan tradisi bangsa Arab jahiliyyah yang
amat buruk itu pada ayat berikut:
58. dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat
marah.
59.
ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah,
Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (an-nahl (16): 58-59)
Itulah
tradisi masyarakat Arab jahiliyyah yang sangat sadis yakni mengubur anak
perempuan hidup-hidup. Perilaku ini pantas disebut sebagai puncak kekerasan
hati. Kasarnya perangai, dan puncak kekejaman, hal ini sebagaimana telah Allah
swt. Singgung dalam ayatnya:
89. dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah
semestinya bumi itu patuh, (pada waktu itu manusia akan mengetahui akibat
perbuatannya).
Bangsa
Arab jahiliyyah mempunyai alas an dan motivasi yang berbeda-beda dalam soal
penguburan anak perempuan hidup-hidup. Ada yang melakukannya lantaran menjaga
kehormatan dan khawatir bila sampai tertimpa iab, karena mereka adalah kaum
yang gemar berperang dan melakukan penyerangan. Jika mereka tetap memelihara
anak perempuan, hal itu sangat memungkinkan nantinya anak perempuan mereka akan
menjadi tawanan musuh. Jika hal itu terjadi, berarti ayahnya telah tertimpa aib
yang sangat memalukan. Bani tamim dan kandah merupakan kabilah yang paling
terkenal melakukan penguburan anak perempuan hidup-hidup karena alas an takut
ditimpa aib
Nah
itu lah gejolak hidup seorang wanita pada jaman jahiliyyah yang saya kutip dari
buku yang berjudul “Wanita Teladan” karya Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan
Musthafa Abu Nashr Asy-Syilbi. Alangkah buruknya perlakuan terhadap wanita saat
itu, tapi apakah anda merasakan bahwa di zaman sekarang pun ada yang seperti
itu, tidak sedikit pula, akankah kita kembali ke zaman jahiliyyah? Atau kah
kita tak merasakan lagi nikmat Islam dan Iman yang telah disampaikan oleh
Rasulullah?
Wallahu ‘Alam
B. Kedudukan Perempuan Dalam Islam
Kedudukan perempuan dalam pandangan
Islam tidak sebaaimana diduga atau dipraktekan sementara masyarakat. Ajaran
Islam pada hakikatnya memperikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan
terhormat kepada perempuan.
Muhammad Al-Ghazali, salah seorang ulama
besar Islam kontemporer berkebangsaan mesir, menulis:”Kalau kita mengembalikan
pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan
menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan social yang tidak dikenal oleh
perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik
dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta
pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan.” (Muhammad Al-Ghazali, Al-Islam
wa Al-Thaqat Al-Mu’attalat, kairo, Dar Al-Kutub Al-Hadistah, 1964, h. 138)
Almarhum Mahmud syaltut, mantan syaikh
(pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di mesir, menulis:”Tabiat
kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat (dikatakan) sama. Allah
telah menganugrahkan kepada perempuan sebagaimana menganugrahkan kepada lelaki.
Kepada mereka berdua dianugrahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk
memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat
melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu,
hokum-hukum syari’at pun meletakan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini
(lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjuan
dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan
menyaksikan” (Mahmud Syaltut, Prof. Dr., Min Taujihat Al-Islam, Kairo,
Al-Idarat Al-‘Amat lil Azhar, 1959, h.193)
Banyak factor yang telah mengubur
keistimewaan serta memerosot kedudukan tersebut. Salah satu diantaranya adalah
kedangkalah pengetahuan keagamaan, sehingga tidak jarang agama (Islam)
diatasnamakan untuk pandangan dan tujuan yang tidak dibenarkan itu
C. Kaitan Erat Antara Wanita dan Pendidikan
Setelah kita tahu tentang keistimewaan
dan kedudukan wanita dalam Islam, patutnya kita mengetahui peran utama seorang
wanita, menurut perpektif penulis, wanita atau perempuan itu berkaitan erat
dengan kependidikan, kenapa tidak, sejak kita lahir pun sampai saat ini kita
diberi pendidikan, tata karma, dan lain sebagainya, itu oleh seorang perempuan,
bahkan ada sebuah cerita seperti ini. Ketika kita – seorang berilmu- akan
mengajarkan ilmunya, ajakanlah lebih dulu kepada anak perempuan, karena ketika
kita mengajarkan sesuatu kepada anak perempuan sama saja kita sudah mengajarkan
sesuatu ke banyak orang, realitanya, si perempuan itu akan terus membagikan
ilmu yang telah ia dapat kesemua orang yang dikenalnya.
Sifat lembut seorang Ibu –
perempuan - memberikan makna terdalam
tentang suatu hal, jika kemajuan sebuah Negara diukur berdasarkan kualitas
pendidikannya, dan jika sifat alamiah seorang perempuan dapat menjadi seorang
pendidik yang propesional, maka Aset kemajuan sebuah Negara adalah Pengabdian
seorang perempuan yang berkecimpung di dunia pendidikan.
Rahmatillah Rasyidin, M.Pd Penulis,
Tenaga Pendidik pada Madrasah darul Ulum Jambo Tape berpendapat tentang peran
seorang perempuan di dunia kependidikan “Untuk mempersiapkan anak menjadi
orang yang bisa merubah dunia, sangat diperlukan talenta seorang ibu, karena
ibu (wanita) adalah pendidik pertama dalam rumah tangga dan di tangan ibu-lah
anak-anak akan terbentuk ke arah yang baik. Membentuk anak-anak menjadi
putra-putri yang cerdas, peran seorang ibu atau wanita sangat perlu
diperhitungkan.
Syauki
mengatakan, ibu ibarat “madrasah”, jika engkau persiapkan maka sesungguhnya
anda sedang mempersiapkan bangsa yang besar. Pendidikan dalam rumah tangga yang
dimotori oleh seorang ibu bukan pekerjaan sampingan atau sekedar pelengkap dari
kegiatan-kegiatan yang lain, tapi peran dan didikan yang diberikan kepada
mereka harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Tanpa seorang wanita (ibu)
laki-laki (suami) tidak bisa berbuat banyak untuk membentuk kepribadian seorang
anak.
Pemberi Rasa Aman
Rasulullah
saw, mempunyai seorang ibu yang dibanggakannya sehingga beliau terbentuk
menjadi manusia yang bisa mereformasi dunia ini. Ibunda Rasulullah dari namanya
saja kita bisa berkesimpulan bahwa, “Aminah” yang berarti pemberi rasa aman
untuk Muhammad, telah menjadikan muhammad bisa tumbuh dewasa dengan kepercayaan
diri yang luar biasa. Aminah, ibunda beliau sebagai seorang ibu telah
memberikan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan psikis anaknya. Sebagai
seorang ibu yang baik beliau telah mampu menciptakan situasi yang aman bagi
putranya untuk terbentuk menjadi manusia yang diperhitungkan dalam berbagai hal.
Oleh
karena itu, peran wanita sebagai seorang pendidik dalam rumah tangga dan
masyarakat, diharapkan dapat membantu anak apabila mereka menemui
kesulitan-kesulitan. Perasaan aman anak yang diperoleh dari rumah akan terbawa
sera jika anak-anak beraktifitas di luar rumah atau dalam lingkungan
masyarakat, artinya anak akan tidak mudah cemas dalam menghadapi
masalah-masalah yang timbul di lingkungan permainannya.
Rumah
tangga yang dibangun dengan kekerasan dan jauh dari suasana aman dan kasih
sayang, justru akan membentuk pribadi anak-anak yang keras dan pembangkang.
Apalagi kalau kondisi rumah tangga yang tidak kondusif antara ayah dan ibunya,
pertengkaran dan ketidakharmonisan rumah tangga akan menyeret anak-anak ke
lembah kehancuran.
Karena
itu, seorang ibu disamping mitra dengan suaminya dalam keluarga juga harus
mampu menciptakan hubungan yang baik dengan anaknya. Ibu harus bisa menjadikan
dirinya sebagai teman sekaligus tempat anak-anak menyampaikan keluhan atau
problem yang dihadapinya. Masalah-masalah yang disampaikan anak-anaknya harus
disikapi dengan kasih dan sayang.
Kasih
sayang yang diberikan ibu terhadap anaknya akan menimbulkan berbagai perasaan
yang dapat menunjang prilaku dengan orang lain ketika si anak berada di luar
rumah. Cinta kasih yang diberikan ibu pada anak akan menjadi tolok ukur
bagaimana sikap anak terhadap orang lain. Seorang ibu yang tidak mampu
memberikan cinta kasih pada anak-anaknya akan menciptakan karakter anak yang
tidak baik.
Dari
apa yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa kunci keberhasilan seorang anak
dalam kehidupannya sangat bergantung pada didikan dan teladan seorang ibu.
Sikap ibu yang penuh kasih sayang, akan memberikan kesempatan pada anak untuk
memperkaya pengalaman, menghargai dan dapat menjadi teladan yang positif bagi
anaknya”
Dari
ungkapan diatas lebih pada pendidikan kepada seorang anak, seperti halnya
seorang Ibu, ia akan memperlakukan anaknya seperti yang diatas dijelaskan.
Konkritnya, jika seorang Guru dan siswanya, selayaknya seorang Ibu dan anaknya,
maka sama pula perilakuannya terhadap siswa tersebut seperti seorang anak tadi.
Peran
perempuan disini sangat mendalam, dimana siswa atau anak remaja adalah asset
berharga kemajuan bangsa yang dimana jika kita tak mampu mendidiknya dengan
baik. Apa jadinya Negara kita ini?
Tentu
pendidikan yang akan diberikan seorang Ibu –perempuan- kepada anak-anaknya akan
berpengaruh besar terhadap kemajuan sebuah Negara.
Kesimpulan
Tema
yang diangkat disini adalah tentang keistimewaan wanita, dan saya mengangkat
judul tentang peran wanita dalam kependidikan guna membangun Negara ini menjadi
Negara yang lebih baik lagi yang memiliki para generasi terdidik, yang pada
nantinya akan siap menantang zaman, dan tentunya hal ini dilatar belakangi oleh
peranan seorang wanita dalam dunia kependidikan.
Sungguh
mulia pengorbanan itu jika kamu tahu banyak bagaimana pendidikan seorang Ibu
terhadap orang-orang seperti kamu, dan apa jadinya Negara ini, dunia ini, tanpa
kasih lembut seorang Ibu, dan tentunya patut kita syukuri tiada lain hanya
Allah lah yang telah memberikan kenikmatan dan kebahagiaan telah diberikan sepasang “bidadari” yaitu orang tua kita yang
senantiasa membimbing dan mendidik agar kita menjadi anak yang baik.
Penutup
Melebur seperti angin
Berdiri tegak bak menara
Jenguk sang mentari
Terkapar di belabuhan
Bukanlah dirimu seorang pujangga
Bukan pula pegawai tua
Terbit sambut gembira
Hilang selimuti rindu
Daftar Pustaka
Al-Fauzan, S. S. (2010). Untukmu wahai muslimah.
Jakarta: Pustaka Imam Ahmad.
Al-Istambuli, M. M. (2005). Wanita teladan.
Bandung: Irsyad Baitus Salam.
Rahmatillah Rasyidin, M. (2012, maret 5). Gema
Baiturrahman. Retrieved Maret 8, 2013, from Gema Baiturrahman:
http://www.gemabaiturrahman.com/2012/05/peran-perempuan-dalam-pendidikan.html
Shihab, D. M. (2004). membumikan Al-Qur'an.
Bandung: Mizan Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar