Setelah kita membahas permasalahan tenaga
kependidikan, saya ingin bercerita tentang “Guru-Guru Luar Biasa”-judul dari
cerita- yang saya ambil dari sebuah buku catatan para pengajar muda Indonesia
yang mengabdi untuk bangsa ini
“Saya mau mencari ikan dulu, ya!” ucapnya
seorang guru kepada saya seusai sekolah. Bukan mencari ikan di pasar, kemudian
dibelinya, melainkan pergi ke pantai berbatu setiap siang sampai sore hari mengail
ikan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk sehari-hari, untuk
makan pada pagi, siang, dan malam. Untuk apa bersusah payah mencari ikan?
Guru muda ini sudah memiliki keluarga, yakni
istri dan seorang anak yang tinggal jauh darinya, di pulau dan kebupaten yang
berbeda. Penghasilannya dihemat agar uang yang didapatkannya dapat dikirim
kepada istrinya di rumah. Sebagian disisihkan untuk ditabung guna bersekolah
anaknya kelak. Ia sukarela bersusah payah pada siang hari di bawah terik
matahari mencari seekor ikan di pesisir Pulau Matutuang dan pada pagi hari
mengajar di sekolah. Luar biasa.
Luar biasa juga cerita seorang ibu berumur 60
tahun yang dengan ikhlas menjadi pengajar sukarelawan. Meskipun telah pengsiun,
ia tetap ingin mengabdi karena beliau mengerti bagaimana kondisi sekolah yang
kekurangan pendidik. Tempat tinggal beliau sebenarnya ada di pulau yang jauhnya
lima sampai enam jam menggunakan pumpboat, di Pulau Tinakareng, daerah yang
lebih dekat dengan kota kabupaten. Namun, beliau rela tinggal di pulau yang
lebih terpencil untuk mengajar. Padahal, beliau sudah mendapat hidup tentram di
daerah asalnya bersama seluarga. Bahkan, ada sekolah swasta di tempat asalnya
yang menawarinya mengajar dan menjanjikan kompensasi yang bagus. Namun, Ibu
tidak mau dan rela tinggal di Pulau Matutuang.
Siapa bilang bahwa tidak ada gutu yang luar
biasa di daerah? Mereka membuktikan bahwa pengorbanan menjadi pengajar di pulau
yang kekurangan guru merupakan sebuah perjuangan untuk memajukan generasi
penerus bangsa, tidak peduali, asal usuk, agama, dan ekonomi anak didiknya
seperti apa, tanpa peduli berapa besar yang didapatkan. Hal yang terpenting
bagi mereka adalah menjadi pendidik bagi mereka membutuhkan untuk
tempat-tempat yang kekurangan pengajar.
Keinginan tersebut terpatri dalam hati mereka
kuat-kuat, “PADAMU NEGERI!” sang Ibu selalu bilang, apapun risikonya oa tempuh
demi pulai kecil dan anak-anaknya yang polos dan damai ini. Ternyata, banyak
pahlawan “tak bernama” yang mau berkorban demi nusa bangsa. Semoga Allah
memberikan yang terbaik bagi mereka. (dkk, 2012, hal. 24)
Cerita ini ditulis oleh Yuri Alfa Centauri,
pengajar muda kabupaten kepulauan sangihe, sulawesi utara
wah sampe part 8, mantab ^_^
BalasHapuswah. aku baru buka blog nya. udah lama gak blogging.
BalasHapusnuhun ah