Publikasi: 27/06/2003
09:27 WIB
eramuslim - Sewaktu masih kanak-kanak, setiap selesai
shalat shubuh berjamaah di masjid, aku dan saudara-saudaraku sering melakukan
jalan-jalan pagi. Hanya di waktu pagilah udara di kota Jakarta
masih bisa dikatakan bersih, karena belum banyak kendaraan yang lalu lalang,
dan matahari bahkan belum memperlihatkan cahayanya serta debu-debupun belum
banyak beterbangan. Di sebuah kantor polisi kecamatan kecil yang berada di
tikungan perempatan patung Pancoran, aku selalu memperlambat langkahku karena
daerah itu adalah daerah yang aku sukai. Kenapa? Karena di situ, di sepanjang
pagar kantor polisi itu ditanam berjajar pohon kemuning. Setiap pagi, wangi
bunga kemuning dari jajaran rumpun pepohonan itu menyapa ramah hidung dan
menambah perasaan damai. Lupa dengan jajaran gedung bertingkat yang ada di
sekitarnya, atau jajaran warung kaki lima
yang masih tampak tertutup dengan sangat tidak rapih, aku selalu membayangkan
sedang berjalan di taman bunga. Hmm… Subhanallah, wangi sekali.
Menerbitkan sebuah cita-cita kanak-kanak, bahwa kelak jika sudah menikah dan
punya rumah sendiri, aku akan menanam rumpun pohon kemuning di sepanjang pagar
rumahku.
Sekarang, ketika aku sudah memiliki keluarga sendiri, juga rumah sendiri. Setiap pagi sebelum berangkat ke masjid untuk shalat shubuh, aku selalu memuaskan hidungku untuk menghirup wangi kemuning yang rumpun pohonnya aku tanam di halaman rumahku yang mungil. Yup, alhamdulillah mimpi kanak-kanakku telah terwujud.
***
Masjid di dekat rumahku itu jaraknya lumayan jauh sebenarnya.
Tapi jarak jauh itu tidak terasa jauh karena aku dan suamiku sangat
menikmatinya berdua sebagai waktu khusus untuk berkomunikasi lebih akrab di
banding waktu yang lain, lepas dari masalah kerutinan pekerjaan kantor atau
rumah tangga, lepas dari masalah hubungan dengan rekan kerja atau tetangga atau
keluarga bahkan anak-anak sekalipun. Tidak harus dengan untaian kata-kata,
karena komunikasi tidak selamanya berbentuk untaian kalimat. Itu sebabnya
perjalanan jauh menuju masjid favorit itu sangat kami nikmati. Masjidnya
sendiri, adalah masjid sederhana yang tidak terlalu besar. Biasanya, anggota
jamaah yang melakukan shalat shubuh di masjid tersebut selalu bisa dihitung
dengan jari, karena yang datang memang orangnya itu-itu saja setiap pagi,
termasuk di dalamnya empat orang kakek yang bersahabat akrab.
Sejak dua tahun yang lalu, ketika aku pertama kali datang
untuk shalat di masjid itu setelah aku tiba di Indonesia dan kembali menetap di
negeri ini, aku selalu kagum pada persahabatan keempat kakek-kakek tersebut.
Mereka bertemu dalam suasana mesra dan bersenda gurau dengan akrab. Kadang,
secara bergantian mereka saling memperhatikan bacaan tilawah temannya, atau
diskusi dengan suara pelan sambil membuka buku agama yang terlihat sudah usang
dan mulai berwarna tanah. Tapi kadang mereka hanya duduk berkumpul dalam diam
mendengarkan suara qori yang mengalun dari radio dan dipancarkan lewat pengeras
suara masjid sambil menunggu adzan shubuh bergema. Kebersamaan dan pertemuan
itu rasanya sudah memiliki arti yang sangat spesial bagi mereka, bahkan jika
pertemuan yang terjadi itu tidak menghasilkan percakapan yang bermutu sekalipun
karena semuanya larut dalam diam, tetap saja pertemuan keempat sahabat itu
berarti bagi mereka. Karena dengan adanya kesempatan bertemu masing-masing tahu
bahwa semuanya masih dikaruniai nikmat sehat dan hidup sampai hari pertemuan
itu.
Dua tahun berlalu sudah hari ini. Kini, keempat sahabat itu
hanya tersisa dua orang. Dua orang rekan mereka telah mendahului rekan lainnya
pergi menghadap sang Khalik. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kakek
itu tinggal berdua kini. Berdua mereka saling membantu karena usia tua telah
mencabut beberapa kenikmatan yang dimiliki oleh mereka yang berusia muda. Jalan
yang tidak lagi gagah, punggung yang membungkuk, lutut yang gemetar menahan
berat tubuh, telinga yang tidak lagi bisa mendengar dengan jelas serta mata
yang mulai tidak awas. Meski semua kenikmatan usia muda sudah semakin berkurang
mereka miliki, keduanya tampak tetap saling membantu satu sama lain (atau
bahkan kian akrab dan mesra?). Aku sering terharu melihat keakraban dan
kemesraan kedua orang kakek yang kini tinggal bersahabat berdua.
***
Pagi ini, setelah hampir sebulan lamanya aku tidak pernah
datang ke masjid itu karena masalah kesehatan yang terganggu, aku datang lagi
dan mendapati kakek tua itu tampak seorang diri. Sendiri termenung mendengarkan
kaset murattal yang diperdengarkan melalui pengeras masjid. Dari seorang nenek
yang ada di sampingku, aku mendapat kabar bahwa sahabat terakhirnya telah
meninggal dua minggu yang lalu. Aku sedih membayangkan perasaan kehilangan
kakek itu. Tentu sangat menyedihkan kehilangan sahabat yang kita sayangi.
Setelah merasakan kedekatan bertahun lamanya bersama, berbagi suka dan duka
bersama, melihat kepergian orang yang kita cintai adalah sesuatu yang sangat
berat terasa di dada dan sangat menyedihkan perasaan. Tanpa sadar aku menatap
kakek yang duduk menyendiri di sudut masjid seorang diri itu hingga sebuah
sentuhan halus dan hangat terasa menyentuh pergelangan tanganku.
“Senang sekali bertemu denganmu lagi.” Seorang nenek tampak
dengan cepat mengucapkan kalimat pendek padaku sebelum dia konsentrasi
melakukan wiridnya. Barulah setelah dengan wiridnya, ketika hikmah kehidupan
singkat dibicarakan oleh ustad masjid, si nenek menghampiri aku sekali lagi.
Aku sedang bersiap-siap untuk segera pulang. Kali inipun, dia memegang
pergelangan tanganku erat sekali setelah aku menyalaminya untuk pamit pulang.
“Nak? Kemana saja selama sebulan ini tidak terlihat?” Suara
tuanya tampak terdengar bergetar di telingaku, tapi sangat sarat dengan
perasaan hangat dan akrab.
“Sakit bu, jadi saya shalat di rumah.” Aku menjawabnya
sambil tersenyum dan mulai bersiap untuk berdiri tapi si nenek tampak enggan
melepas pergelangan tanganku.
“Sehat selalu yah Nak, demi Allah, ibu menyayangi kamu
karena Allah dan selalu senang jika kita bisa bertemu lagi.“ Dug. Hatiku
langsung tercekat mendengar untaian kalimatnya. Perasaan haru terasa mulai
menyirami rongga dadaku. Tidak sekalipun aku ingat pada nenek tua ini, bahkan
mungkin selama ini aku tidak pernah memperhatikan kehadirannya di dekatku, tapi
ternyata dia menyayangiku dengan sangat tulus. Padahal kami tidak pernah kenal
sebelumnya bahkan kami memang tidak pernah bercakap-cakap sebelumnya selain
ucapan saling memberi salam dan melempar senyum saja. Hmm, diam-diam aku mulai
merasakan hangatnya suasana persahabatan diantara kami. Cepat kuhapus air mata
haru yang ingin meloncat keluar (malu ah, ketahuan cengengnya). Kujabat erat
tangan nenek tua itu sebelum aku benar-benar beranjak berdiri untuk pulang.
Kali ini, rasanya aku yang enggan kehilangan genggaman hangat tangannya di
pergelangan tanganku.
“Terima kasih yah bu atas perhatiannya. Semoga Allah
membalas ketulusan ibu. Semoga Allah melimpahi ibu dengan rahmatNya selalu.
Saya pamit yah.” Si nenek mengangguk dengan pandangan sayang padaku. Aku
tersenyum padanya dan dia masih tetap memandangku.
“Assalamu’alaikum...” Akhirnya sebelum benar-benar berlalu,
kudaratkan sebuah kecupan sayang di pipi tuanya dan segera berlalu karena
melihat bola matanya yang mulai berkaca-kaca. Suamiku sudah menunggu di halaman
masjid dan aku tidak ingin membiarkannya berteman seorang diri dengan angin
shubuh yang dingin Sebelum benar-benar meninggalkan masjid, kulirik kakek tua
yang sebelum shalat shubuh tadi tampak menyendiri di sudut masjid. Dia kini
ditemani oleh teman baru yang sama tuanya dan seorang pemuda yang tampak sangat
menghormati mereka dengan semangat untuk belajar ilmu agama yang kental yang memancar
dari wajahnya yang bening. Aku tersenyum.
Sungguh. Nikmat persahabatan mereka kini bisa ikut
kurasakan. Subhanallah begitu nikmat kehangatan dan kemesraannya. Kueratkan
rengkuhan tanganku di lengan suamiku. Dia sahabat sekaligus kekasih hatiku. Semoga
kami selalu dinaungi nikmat persahabatan islamiyah selamanya. Aamiin.
Ade Anita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar