Publikasi: 10/07/2003
08:14 WIB
eramuslim - Walaupun saat ini kita belum menjadi
seorang ibu atau istri dari seseorang, tapi tidak ada salahnya apabila kita
mencoba belajar memahami profesi ini sebelum kita benar-benar menjalaninya.
Bukankah kita tidak bisa memprediksikan kapan kita akan berjodoh dan juga tidak
akan pernah bisa mengetahui saatnya sesosok mungil nan manis yang akan
memanggil kita dengan sebutan "ibu"? Subhanallah. Karena semua
itu hanya Allah yang tahu.
Sebagai seorang muslimah, kita mungkin harus banyak prihatin
dan bersabar. Karena pada masa yang akan datang kita akan menjadi seorang ibu
yang mendengar keluh kesah anak-anaknya dan juga sebagai istri yang setia
mendampingi suami baik dalam suka maupun duka.
Beruntunglah kita yang saat ini berhasil mengenyam suatu
pendidikan tinggi, dan juga sebagian muslimah punya kesempatan belajar keluar
negeri. Sekarang ini berapa banyak pelajar lulusan SMU yang menunggu untuk
keperguruan tinggi, tapi tidak cukup lembaga pendidikan yang bisa menampung
mereka, selain pula mereka harus mempertaruhkan hasil belajar mereka selama
beberapa tahun untuk bersaing meraih bangku perguruan tinggi. Beruntung pula
bagi mereka yang kalah bersaing namun memiliki uang lebih untuk kuliah di tempat
lain.
Pergunakanlah kesempatan masa belajar dengan baik, salah jika kita masih berpendapat bahwa perempuan belajar tinggi-tinggi tapi akhirnya ke dapur juga. Sebagai Muslimah yang mengerti akan tanggungjawabnya harus merubah anggapan itu dengan pendirian bahwa "Al ummu madrosatun" (ibu adalah sekolah). Jadi segala yang kita pelajari sebenarnya bukan hanya untuk kita, bukan hanya untuk "better life" mendapatkan gizi dan gaji, tapi yang terpenting adalah bagaimana seorang muslimah menuntut ilmu dan hasilnya untuk anak-anak dan generasi masa yang akan datang.
Pergunakanlah kesempatan masa belajar dengan baik, salah jika kita masih berpendapat bahwa perempuan belajar tinggi-tinggi tapi akhirnya ke dapur juga. Sebagai Muslimah yang mengerti akan tanggungjawabnya harus merubah anggapan itu dengan pendirian bahwa "Al ummu madrosatun" (ibu adalah sekolah). Jadi segala yang kita pelajari sebenarnya bukan hanya untuk kita, bukan hanya untuk "better life" mendapatkan gizi dan gaji, tapi yang terpenting adalah bagaimana seorang muslimah menuntut ilmu dan hasilnya untuk anak-anak dan generasi masa yang akan datang.
Tugas menjadi seorang ibu untuk mengurus anak tidaklah
mudah, karena tugas ini tidak bisa digantikan oleh orang lain walaupun seorang
ayah, apalagi seorang pembantu. Karena seorang ibu dan anak memiliki satu
ikatan emosi yang dalam istilah psikologi disebut "emotional
bounding". Jadi dari mulai anak baru lahir disaat mereka belum bisa
mengenal apa dan siapa, tapi dengan kekuasan Allah Swt ia bisa merasakan dan
membedakan mana ibunya atau bukan.
Oleh karena itu, Erik Erikson salah seorang penganut
psikologi sosial menerangkan bahwa saat anak berumur nol tahun (baru lahir)
sampai satu tahun mereka membangun "basic trust dan mistrust" (rasa
kepercayaan dan ketidak percayaan) pada orang lain. Menurutnya, saat anak
seusia ini jika si ibu selalu "responsive" terhadap segala
kebutuhannya, bersikap hangat dalam menghadapi si bayi, maka kelak pada anak
akan tumbuh sifat percaya diri baik terhadap ibunya maupun pada orang lain.
Sebaliknya, saat anak membutuhkan kasih ibu tapi ibunya tidak
"aware", atau tidak "care" bertindak cuek dan bersilkap
acuh tak acuh maka si anak pun akan merasa "neglected" atau
diacuhkan. Pada akhirnya seiring dengan pertumbuhannya, akan lahir rasa tidak
percaya kepada orangtua, terlebih kepada orang lain.
Sebenarnya, ASI (Air Susu Ibu) bukan saja bagus sebagai
nutrisi buat anak, tapi prosesi pemberian ASI merupakan tanda kasih sayang ibu
kepada anak. Karena disaat ibu memberikan ASI, dia akan mendekap anaknya,
mengelusnya, juga memperhatikan anaknya saat mengalirkan air susu ke tubuh
anaknya. Sungguh tak terbayangkan betapa tenteramnya anak-anak pada saat-saat
itu. Tak mengherankan jika mereka menangis, ke dada para ibu lah anak-anak itu
berlari.
Yang tidak kalah pentingnya, disaat anak mulai tumbuh dan
belajar berbicara. Mereka perlu banyak berinteraksi dan anak pun mulai ingin
tahu tentang segala sesuatu yang dia lihat di sekelilingnya. Contohnya, ada
anak yang selalu bertanya kepada orangtuanya dan pertanyaannya itu terkadang di
luar jangkauan otak kita (orang dewasa). Disinilah letak pentingnya ilmu yang
mesti dimiliki para orangtua untuk menjawab dengan bijaksana semua pertanyaan
mereka. Karena pada saat ini, si anak merasa orang tua mengetahui segalanya.
Tapi sayang tidak sedikit orangtua yang tidak mengerti, saat anaknya bertanya
hal "aneh-aneh" justru di marahi, padahal sebenarnya pertayaan mereka
adalah suatu refleksi dari pemikiran-pemikiran yang timbul akibat dari
perkembangan otak anak yang tumbuh dengan luar biasa cepat.
Menurut seorang ilmuan, pada saat anak berumur satu sampai 6
tahun sel-sel otak anak tumbuh dengan cepat. Pertumbuhan ini tidak akan dialami
lagi oleh orang dewasa seperti kita. Dalam menyerap pengetahuan, otak anak pada
usia ini diibaratkan seperti sebuah busa kering yang menyerap air, itu adalah
ibarat betapa anak mampu menangkap dengan cepat segala ilmu yang dia lihat,
diajarkan, dan (atau) terjadi di sekelilingnya.
Karena kata Bandura, salah satu cara anak menyerap
pengetahuan adalah dengan "imitasi" metode mengikuti oleh, karena itu
anak akan selalu mudah meniru orang, termasuk apa yang dilihatnya di TV. Tugas
orang tua sebagai pendidik adalah menyaring dan menyediakan suatu lingkungan
yang baik dimana anak akan belajar meniru dan melihat sesuatu yang baik-baik.
Karena sifat alami seorang anak, mereka hanya tahu kesenangan tanpa bisa
membedakan yang baik dan buruk. Tugas orang tua lah membantu mereka membedakan
hal itu.
Bagaimanapun, ikatan yang kokoh antara anak dan orang tua
akan sangat mendukung perkembangan psikologisnya. Anak akan dapat banyak
melakukuan proses imitasi atau meniru, perkembangan kognititive, emosi pun
berkembang dengan baik. Dengan demikian anak akan tumbuh berkembang ke arah
yang positive bila lingkungannya mendukung.
Sebagai ibu, calon ibu dan seorang muslimah, perlu untuk
menyadari dan berusaha untuk menciptakan dan membangun satu lingkungan yang
penuh kasih sayang, pengertian kepada keluarga, terutama dalam mendidik anak.
Pada dasarnya, sebagai hamba Allah kita mempunyai sebuah amanah yang akan
dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Sebagai seorang ibu,
mendidik anak merupakan tanggungjawab yang kita emban. Berhasil tidak berhasil,
baik dan tidak baik seorang anak di tangan orangtua dan pendidikan dini itu
tertumpu di tangan seorang ibu. Meski demikian, peran ayah tetap tidak bisa
dinafikan.
Bagaimana dengan para ibu yang bekerja? Otomatis waktu
kebersamaan dengan anak berkurang. Solusi yang bisa diberikan misalnya, apabila
ibu bekerja yang menyebabkan waktu bersama anak untuk berinteraksi menjadi
terbatas, maka usahakan untuk menjadi pertemuan yang sedikit itu lebih
berkualitas. Artinya, meski sedikit tapi memberikan manfaat yang banyak untuk
pendidikan dan perkembangan anak. Wallaahu 'a'lam bishshowab.
Ade Nursanti
Mahasiswa S2 Master of Educational Psychology
International Islamic UniversityMalaysia
adesanti26@yahoo.com
Mahasiswa S2 Master of Educational Psychology
International Islamic University
adesanti26@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar