Sabtu, 11 Januari 2014

Tawadhu dan Sombong

Sikap tawadhu’ adalah kebalikan dari sikap sombong. Tawadhu’ adalah bagiam dari akhlak yang mulia, sedangkan kesombongan termasuk akhlak yang tercela
Tawadhu’ adalah sikap rendah hati, namun tidak sampai merendahkan kehormatan diri dan tidak pula memberi peluang orang lain untuk melecehkan kemuliaan diri.
Takabur adalah sikap merasa lebih unggul atau lebih mulia di bandingkan dengan yang lain. Kesombongan adalah sikap terlalu yakin terhadap diri sendiri, hingga muncul perasaan menganggap rendah dan hina pihak lain serta enggan berkumpul dengan orang lain. Orang seperti ini tidak mau menerima perbedaan pendapat apalagi nasihat orang lain. Bila ada orang yang mengingatkannya dia akan marah bahkan menghina orang tersebut.

Coba kita lihat, bila seseorang mempunyai sikap tawadhu’, maka akhlak-akhlak mulai lainnya akan muncul pada dirinya, seperti perasaan bahwa manusia ini sama, lebih mengutamakan orang lain, toleran, bisa memahami perasaan orang lain, dan mau membantu orang yang terzalimi
Adapun kesombongan akan menjurumuskan seseorang kepada sikap-sikap negatif yang lain, seperti, iri hari, benci, pemarah, egois, terperdaya dengan diri sendiri, dan ingin menguasai.
Orang yang mempunyai sifat sombong cenderung merendahkan kawan-kawan sesamanya. Bila dia telah mengusai pengetahuan tertentu, maka dia akan menghina dan mencela kawan-kawannya yang ketinggalan pengetahuannya. Bila berinteraksi dengan orang lain, dia mengganggap bodoh dan menghina mereka, dan bila mengerjakan sesuatu, dia suka menyelesaikannya sendiri.2
Karena sikap sombong dan ‘ujub (bangga terhadap diri sendiri) hampir sama, maka Imam al-Ghazali membuat perbandingan antara keduanya.
Dia menegaskan bahwa takabur berbeda dengan ‘ujub; orang yang ‘ujub tidak akan menyakiti pihak lain, karena dia hanya sebatas membanggakan diri secara berlebihan, namun tidak disertai dengan sikap merendahkan atau menghina pihak lain. Takabur juga berbeda dengan al-‘adhamah (merasa bangga dengan potensi yang ada), karena orang yang dalam hatinya ada perasaan ‘adhamah, masih menganggap ada orang lain yang lebih baik dan lebih bagus darinya, atau paling tidak masih ada yang menyamainya.3
Dalam kitab tahzib al-akhlak, Ibnu Maskawaih berkata,”Orang yang pandai dan terhormat seharusnya terhindar dari sifat takabur dan bangga terhadap diri sendiri. Ada sebuah kisah, seorang penguasa berbangga diri di hadapan seorang hamba sahaya yang pandai. Melihat hal ini, hamba sahaya tersebut berkata,’Bila kamu berbangga diri kepadaku ataas kuda yang kamu miliki, maka keistimewaan yang engkau banggakan adalah milik kuda bukan milikmu. Bila kamu berbangga diri karena bajumu, maka yang bagus adalah bajumu, bukan dirimu, dan bila kamu membanggakan diri karena kehormatan nenek moyangmu, makan kehormatan itu adalah milik mereka bukan milikmu”4
 



2              Ihya ‘Ulumiddin, 3/299
3              Ibid.
4              Tahzib al-Akhlak, hlm. 164

sumber: akhlaqun Naby fii Bukhori Muslim - Abdul Mun'im

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
terima kasih untuk semua teman-teman yang sudah berpartisipasi atas terciptanya blog ini. mudah-mudahan blog ini bisa bermanfa'at. Amin